Monthly Archives: June 2013

Konsep Floating LNG Production Plant, Aplikasi yang Tepat untuk Produksi dan Transportasi LNG AntarPulau di Indonesia

Oleh:                                                                  

Ir. Habibie Razak, P.Eng., ASEAN Eng., MM – Project Manager Black & Veatch International , Kansas City, United States                                                                           

LNG Plant yang dibangun di daratan (on-shore LNG plant)  membutuhkan waktu pembangunan yang jauh lebih lama bisa memakan waktu sampai 5 Tahun bukan hanya karena durasi konstruksi dan instalasinya yang lebih lama tapi juga karena banyaknya persoalan-persoalan non-teknis yang muncul pada saat fase inisiasi dan fase perencanaan suatu proyek LNG Plant.  Khususnya di Indonesia, untuk membangun suatu industri (pabrik) di suatu tempat saat ini banyak mengalami tantangan dan hambatan klasik seperti pembebasan lahan, negosiasi harga tanah yang cenderung semakin mahal, biaya ijin mendirikan bangunan (IMB) yang mulai juga mahal dan juga proses perijinan (permitting and licensing) kini memakan waktu yang lebih lama dan biaya yang tidak sedikit. Ijin lingkungan, ijin mendirikan bangunan, ijin mendirikan pelabuhan dan ijin-ijin lainnya melibatkan terlalu banyak kepentingan pihak dari pemerintah dan instansi-instansinya dan juga masyarakat sekitarnya.

Selain persoalan non-teknis tadi ada beberapa pertimbangan teknis dan juga tentunya salah satunya adalah pertimbangan biaya investasi proyek yakni on-land LNG Plant dengan tujuan untuk transportasi LNG dari pulau ke pulau mengharuskan client untuk membangun pelabuhan (jetty) sebagai tempat bersandarnya LNG carrier (kapal pembawa LNG) untuk bisa melakukan proses loading dari on-shore LNG tank. Untuk membangun jetty di sea shore pun membutuhkan biaya yang cukup mahal dan terkadang biayanya bisa lebih mahal dari LNG liquefaction plantnya sendiri.

Karena persoalan-persoalan non-teknis dan teknis tadi, muncullah ide untuk membangun LNG plant di atas laut yang liquefaction processnya didudukkan di atas topside facility. LNG Plant seperti ini diberi nama floating LNG (FLNG) production facility. Pada dasarnya ada 2 tipe FLNG yang dikembangkan sekarang, tipe pertama yakni floating LNG yang berbentuk kapal (ship shaped) yang memiliki containment system atau cargo tank di dalam hull kapal. Tipe kedua adalah barge-based LNG yakni LNG production berbentuk barge dan tidak harus memiliki containment system yang besar tapi bisa saja memiliki LNG bullets tank yang diletakkan di bawah deck sebagai tempat penyimpanan LNG untuk volume kecil (small storage).

Fasilitas-fasilitas yang ada pada LNG barge atau FLNG ini sama saja dengan fasilitas on-land LNG plant yakni terdiri dari gas treating dan dehydration, liquefaction unit, boil-off gas, storage tank, utilities, sampai pada control room dan fasilitas akomodasi buat karyawan dan operator. Namun, tidak semua teknologi LNG yang ada di dunia tepat (fit) untuk aplikasi FLNG atau barge-based LNG karena membangun LNG plant di atas kapal atau barge tentunya biaya investasinya lebih mahal apabila ukuran kapal atau bargenya lebih panjang dan lebih lebar karena equipment dan piping untuk liquefaction process terlalu banyak. Di dunia,  hanya ada satu technology provider yang bisa menghasilkan layout yang compact untuk suatu proses liquefaction di atas kapal dan dengan Capital Expenditure (CAPEX) yang lebih murah (feasible) yakni PRICO-SMR LNG technology hak milik dari perusahaan US bernama Black & Veatch.

Mengapa teknologi PRICO sangat tepat untuk aplikasi floating LNG? Pertama karena PRICO dikenal dengan single mixed refrigerant processnya (SMR), low count of equipment dan tentunya low cost dibanding dengan teknologi lainnya. PRICO hanya menggunakan satu compressor untuk proses refrigeration dan 1 unit compact cold-box terbuat dari brazed aluminum heat exchanger. Kedua, karena semua komponen PRICO SMR telah disertifikasi oleh marine certification agency ternama dan layak dioperasikan pada kondisi motion baik dari sisi operability dan mechanical design strength aspects. Ada beberapa evaluasi marinisasi yang dilakukan oleh Black & Veatch antara lain: process operability pada lingkungan di atas laut, rancangan mekanikal dengan mempertimbangkan motion/acceleration, offshore safety, HAZID/HASOP, blast/explotion, gas dispersion, heat radiation, isolation/relief/blowdown, spill containment, drop object, fire and gas detection, fire fighting and protection, offshore maintenance dan materials of construction. Black & Veatch telah melakukan semua studi di atas tentang kelayakan PRICO untuk dioperasikan di atas laut.

Floating Liquefaction Regasification & Storage Unit

 Aplikasi FLNG atau barge-based LNG production, teknologi Black&Veatch ini sangat tepat untuk mempermudah proses transportasi LNG dari pulau penghasil gas ke pulau yang membutuhkan gas untuk kebutuhan pembangkit listrik dan juga LNG sebagai bahan bakar BBM. Dengan membangun LNG Plant di atas kapal/barge kita bisa memperpendek durasi proyek dan juga tentunya dengan biaya investasi (CAPEX) yang lebih sedikit. PRICO technology juga memberikan simplicity karena layout yang lebih kecil, equipment yang lebih sedikit dan mudah dioperasikan. Selain itu, PRICO technology ini sangat fleksibel di dalam menghandle feed-gas composition dan flow yang sering terfluktuasi sehingga memastikan plant tetap berjalan tanpa ada interupsi yang signifikan.

Lebih khusus lagi, untuk kapasitas produksi small to medium scale LNG plant dan juga lokasinya fasilitasnya tidak terlalu terekspos dari ocean movement, konsep barge-based LNG production adalah pilihan yang terbaik dari sisi kelayakan teknis maupun finansial. Black & Veatch sementara mengerjakan 2 barge-based LNG yaitu 0.5 MMTPA EXMAR FLSRU, Colombia & 0.75 MMTPA Douglas Channel, Canada. Pertanyaan, berapa biaya pembangunan barge-based LNG katakanlah untuk kapasitas produksi 0.5 MMTPA? harganya berada pada kisaran USD 200 Juta Dollar sangat tergantung pada pemilihan driver compressornya (motor atau turbine) dan juga cooling system (air or water cooling) di mana motor driven (8% cost reduction) dan air cooling (5% cost reduction) akan lebih murah sampe 13 persen.

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah aplikasi Floating LNG atau barge-based LNG production ini layak dikembangkan di Indonesia? Jawabannya iya sangat memungkinkan untuk dilakukan, pertama: karena biaya lahan yang semakin mahal (harga tanah, dan proses pembebasan lahan dan perijinan yang semakin kompleks), kedua, lokasi sumur gas dan upstream gas treating plant kebanyakan berada di daerah lepas pantai (sea-shore) sehingga memungkinkan sumber gas tadi bisa diliquefy menjadi LNG di atas barge-based LNG plant tadi. Ketiga, dengan membangun barge-based LNG production kita bisa mengurangi biaya pembangunan jetty untuk proses loading LNG dari onshore liquefaction facility ke LNG carrier, dengan barge-based LNG proses transfer/loading LNG bahkan bisa dilakukan lebih cepat ke LNG carriers (LNGCs) melalui atau tanpa melalui Floating Storaging Unit (FSU).

 @KC office

Strategi Pengembangan Coal Gasification untuk Low Rank Coal di Indonesia

Oleh:

Sapri Pamulu, Ph.D., Direktur Strategi PT Wiratman & Associates, Staff Pengajar Universitas Indonesia, Staff Ahli Departemen Pekerjaan Umum Bidang Manajemen Konstruksi

Habibie Razak, P. Eng., ASEAN Eng., Project Manager Black & Veatch International, Wakil Ketua Bidang Energi dan Kelistrikan Persatuan Insinyur Indonesia

Indonesia adalah negara pengekspor kedua batubara di dunia setelah Australia. Batubara kita bertebaran dimana-mana di beberapa pulau besar seperti di Pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua. Deposit batubara Indonesia lebih dari 21 Milyar Ton (2011; Kementerian ESDM) dan total sumber daya batubara lebih dari 105 Milyar Ton (2011; Kementerian ESDM).

Batubara yang diekspor digunakan untuk produksi baja dan bahan bakar pembangkit listrik dimana batubara seperti ini dikategorikan sebagai batubara kalori tinggi dan menengah dimana calorific valuenya (CV) lebih dari 4500 Kcal/Kg dan water contentnya kurang dari 30 persen. Tipe atau jenis batubara yang lain adalah batubara kalori rendah atau biasa disebut sebagai lignite. Karena batubara kualitas rendah ini tidak ekonomis untuk diekspor, Pemerintah Indonesia menggiatkan batubara ini tetap diutilisasi di dalam negeri. Solusi yang tepat untuk batubara kalori rendah ini adalah dengan proses gasifikasi dengan menggunakan teknologi gasifikasi batubara.

Defenisi gasifikasi yang dibahas di sini adalah bahan bakar mentah dalam hal ini batubara dioksidasi secara parsial untuk menghasilkan produk yang diberi nama combustible gas. Produk utama dari hasil gasifikasi adalah synthesis gas atau syngas, terdiri dari carbon monoxide (CO), hydrogen (H2), methane (C1), carbon dioxide (CO2) dan nitrogen (N2). Teknologi gasifikasi di dunia pada dasarnya dibagi dalam 3 jenis yaitu fixed bed, fluidized bed dan entrained-flow (slurry dan dry feed). Dari 3 jenis teknologi gasifikasi ada beberapa technology provider yang sudah dari Tahun 1980-an atau sebelumnya digunakan untuk aplikasi coal gasification antara lain Shell, GE, Lurgi, Mitsubishi Japan dan Siemens. Output/kualitas dari syngas ini juga sangat ditentukan oleh seleksi teknologi dari beberapa technology provider yang disebutkan tadi.

Seleksi teknologi gasifikasi ini harus memperhatikan beberapa hal antara lain: 1) karakteristik batubara yang akan digasifikasi seperti CV, water content, ash content dan sifat-sifat lainnya 2) produk hilir yang akan dihasilkan dan aplikasinya. Syngas dapat diproses lagi untuk membuat gas metana (SNG) yang kemudian bisa untuk aplikasi LNG, methanol untuk kemudian bisa dibuat olefin (polyethylene product), ammonia untuk kemudian bisa dibuat pupuk, atau syngas ini bisa juga sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik (IGCC), gasoline dan beberapa produk turunan lainnya. 3) Skala pabrik dan tingkat reliabilitas yang diharapkan. Besar kecilnya pabrik yang diinginkan dan juga intensitas operasional pabrik juga sangat dipertimbangkan di dalam memilih teknologi gasifikasi yang ada 4) Investasi kapital (capital investment), sampai di mana tingkat kesiapan client/investor dan jumlah dana yang tersedia untuk membangun coal gasification plant ini. Coal gasification adalah medium to high business investment scale 5) Harga batubara juga menentukan di dalam penentuan jenis teknologi gasifikasi, dimana range harga teknologi ini bisa dimulai dari produk China yang relatif murah sampai pada produk-produk Amerika dan Eropa.

Apakah coal gasification ini layak dikembangkan di Indonesia? Berbicara tentang layak atau tidaknya ada 3 hal yang menjadi pertimbangan yaitu: pertama bisa tidak dilakukan dengan pendekatan engineering. Kedua, bagaimana dengan efek sosial dan lingkungannya, apakah tidak merusak? Ketiga, bagaimana dengan commercial aspectnya? Seperti harga syngas atau SNG dibandingkan dengan harga gas alam, berapa capital investmentnya, ROInya dan seterusnya?

Jawabannya adalah iya untuk 3 pertanyaan di atas. Teknologi gasifier di dunia sudah proven dan sudah banyak coal gasification plant yang beroperasi di dunia bahkan di China, Mongolia, Belanda, US dan beberapa negara lainnya. Biaya produksi syngas maupun SNG sudah bisa dibilang hampir sama dengan natural gas (gas alam) yaitu di kisaran USD 4 – 6 per MMBTU. Bahkan harga jual syngas maupun SNG bisa di kisaran USD 6 – 8 per MMBTU sama dengan harga gas alam dari gas upstream operator.

Strategi yang semestinya dilakukan oleh para pengusaha batubara termasuk pemilik tambang adalah membangun coal gasification plant di mulut tambang untuk menghasilkan syngas/SNG yang dijual di pasar domestik. Dengan asumsi harga batubara kalori rendah (lignite) USD 40 per Metric Ton atau kurang, memungkinkan buat kita membangun coal gasification plants di beberapa daerah yang memiliki cadangan batubara yang cukup besar seperti di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

Pemerintah sebagai regulator sudah semestinya memulai menggalakan proses gasifikasi, mengubah low rank coal ini menjadi sesuatu yang bermanfaat, yang bernilai tambah (value added) yaitu gas untuk kebutuhan bahan bakar kendaraan, pupuk, olefin, pembangkit listrik dan berbagai macam produk lainnya. Dengan demikian cita-cita kita sebagai bangsa yang mandiri dari sisi energi bisa terwujud.

Kansas City, US Assignment, May to September 2013

Dari kecil sampai sekarang, saya selalu menyukai box office movies, produksi Hollywood dan bintang-bintangnya yang populer di mana-mana. Berbicara tentang Hollywood, film barat (box offices) pasti teringat Amerika Serikat sebagai negara yang disegani oleh negara-negara lain. Saya dari dulunya bercita-cita jalan-jalan ke negeri Paman Sam negeri nan jauh dari kepulauan Nusantara.

Benar adanya, saya selalu melakukan perjalanan internasional tapi…. ke Amerika, this is my first time. Ketika Boss memberikan instruksi untuk berangkat semenjak Tahun lalu untuk training dan project assignment selama hampir 5 Bulan (Mei sampai September 2013), saya pun tidak banyak berkomentar. “Saya siap berangkat Pak Bob” demikian ucap saya kepada Project Director saya yang orang Kansas City, Missouri.

Perjalanan ke Amrik sungguh melelahkan, Pukul 7 malam berangkat dari Jakarta ke Singapura dengan Pesawat SQ Airlines, transit beberapa jam di Changi Airport, kemudian keesokan dini hari Pukul 01.30 am berangkat lagi dengan pesawat SQ yang berbeda menuju Moscow dan tiba di sana 12 jam kemudian pada Pukul 9 pagi keesokan harinya, di Moscow Domodedovo International Airport. Satu setengah jam transit, tepatnya Pukul 10.30 pagi, saya menuju Houston dengan perjalanan juga sekitar 12 Jam. Alhamdulillah, saya tiba di George Bush International Airport Houston sekitar Jam 13.30 siang. Lebih dari 3,5 Jam beristirahat di Houston, akhirnya harus berangkat lagi Pukul 17.30 sore menuju Kansas City dengan pesawat United Airlines, maskapai penerbangan Amerika. Pesawatnya hanya memuat kurang lebih 40 penumpang jadi teringat waktu masih bekerja di PT Inco Sorowako, rute Makassar – Sorowako juga menggunakan pesawat yang lebih kecil. Setibanya di Kansas City Airport, saya dijemput taksi utusan kantor dan harus menempuh sekitar 45 menit perjalanan dari bandara menuju Overland Park, tepatnya di Apartemen Clear Creek, Earnshaw Street berada di antara jalan utama, 135th Street and Quivira Road.

Setelah berhitung secara seksama, saya menghabiskan waktu kurang lebih 36 Jam mulai dari Jakarta ke Overland Park, Kansas City. Sungguh perjalanan yang sangat melelahkan apalagi ketika harus berada dalam pesawat selama 12 Jam yang kerjanya makan, tidur, nonton, dan buang air. 12 Jam dari Singapura ke Moscow dan 12 Jam dari Moscow menuju Houston, pantas saja pantatku agak tepos sehabis perjalanan ini ha ha ha ha…parah.

The steer is in the left Kansas City-20130615-00698 Leawood-20130611-00680 Leawood-20130611-00678 Kansas City-20130615-00693

Apa yang menarik selama di KC? Banyak yang menarik, hari pertama kerja, Bob memperkenalkan ke orang-orang kantor dan memang luar biasa mereka sangat ramah dan baik hati, semua urusan laptop, access printer, stationery dan lain sebagainya bisa selesai hari itu juga dan saya sudah siap dengan ruangan kantorku. Di hari pertama itu juga dengan santainya “Habibie, hari ini kamu saya jadwalkan driving training dengan Jeff, Koordinator transportasi kita saya berharap kamu cepat belajar sehabis itu kamu mengemudi sendiri balik apartment” Ujar Pak Bob. Saya sungguh terkejut mendengarnya karena saya tahu persis setir mobil di sini berada di kiri dan saya mesti mengemudi di sisi kanan lajur, sesuatu yang terbalik dibanding dengan mengemudi di Indonesia. Ha??? Yang benar aja nich Pak Bob nyuruh bawa mobil hari ini juga? ujarku dalam hati. Apa daya namanya juga anak buah saya manggut saja dan hari itu saya pun mengikuti program training selama 2 Jam mengitari Overland Park Kansas City. Selama 1 minggu mengemudi di KC saya sering kali mendapatkan sambutan klackson dari pengemudi-pengemudi lain di jalan karena masih sering salah mengambil lajur jalan. Di beberapa persimpangan lampu merah ketika kita mengambil lajur paling kiri itu artinya kita harus belok kiri, begitu pun ketika kita berada di lajur paling kanan kita harus mengambil belokan ke kanan, di sini luar biasa disiplinnya pengemudi jalan dan juga sarana dan prasarana jalan sudah sangat teratur dan sudah didesain dengan sangat rapi. Gak usahlah kita membandingkan dengan kota-kota besar di Indonesia, cukup berbeda jauh. Minggu pertama terlewatkan dan saya pun sudah mulai beradaptasi dan mulai menikmati mobil sedan putih Nissan Sentra yang  sengaja disediakan kantor.

 Hal yang menarik lainnya adalah pada saat ngisi fuel saya harus ngisi sendiri, di stasiun bahan bakar kita tidak ngantri lama karena mobil-mobil tidak sebanyak di Jakarta atau Makassar, dan stasiun bahan bakarnya juga tersebar di mana-mana. Karena saya bayarnya cash jadinya saya harus masuk ke dalam toko pemilik fuel station, membayar sekian dollar untuk sekian gallon kemudian keluar lagi ke tempat dispenser dan mengisi sendiri sesuai dengan jumlah gallon yang saya bayar dan dispenser berhenti dengan sendirinya ketika sudah mencapai nilai dollar atau total gallonnya. Overall, di sini semuanya self manage, luar biasa. Apartment tempat tinggal saya juga seperti itu, saya harus bisa mandiri seperti mencuci, memasak dan membersihkan sendiri. Di sini tersedia mesin cuci, dryer, lemari es, TV dan DVD bahkan Wireless connection yang bekerja selama 24 jam yang akhirnya membuat saya betah tinggal di apartment dan jarang keluyuran.

Tempat hiburan malam? Di Overland Park,  ada beberapa bar and restaurant, seperti bar yang saya datangi kemarin malam, red balloon bar, lokasinya di 75th Street, barnya tidak begitu besar di sana kita bisa mendengarkan musik dan juga bisa menyumbangkan lagu sambil menikmati segelas bir atau coke. Orang-orang di sini juga cukup ramah dan mereka cukup welcome dengan pendatang seperti saya ini ha ha ha….Shopping centre, lokasinya di Down Town Kansas City agak jauh dari Overland Park tempat saya tinggal, sekitar 40-50 menit mengemudi. Tadi siang saya ke sana dengan teman kantor dan pacarnya dan ditraktir makan malam di Jazz Lousiana Kitchen, kompleks perbelanjaan Legends di Down Town KC. Pokoknya banyak sesuatu yang menarik saya dapatkan di sini, yang pastinya standard living cost seperti makan, minum dan juga bahan bakar hampir semuanya 2x lipat dari Indonesia. 

Oh iya, saya juga bertemu dengan seorang teman kantor yang baru saja menikah dengan orang Indonesia dan bulan Agustus ini akan ke tanah air menghadiri pesta pernikahannya di Jakarta. He is a good friend and he is willing to learn Bahasa jadinya saya jadi instruktur bahasa Indonesia dia selama di sini he he…Minggu lalu saya ditraktir makan siang di salah satu restoran Italia, di Overland Park juga tidak jauh dari kantor.

Sungguh pengalaman yang menarik bisa berada di sini, bekerja selama kurang lebih 5 Bulan di Kansas City, Amerika Serikat. Semoga saya bisa ketemu Uncle Sam sebelum balik ke Nusantara beberapa bulan ke depan.  

Overland Park-20130601-00649 WP_001017 driving at the other side of the road Clear Creek Apartment

 

 

Menapaki Potensi Pengembangan Berkelanjutan Infrastruktur Liquefied Natural Gas Transportation Fuel di Indonesia

Sapri Pamulu, Ph.D ( Head of Strategic Management Office PT Wiratman Indonesia, Staff Pengajar Universitas Indonesia)  

Habibie Razak, P.Eng ( Project Manager Black & Veatch International, Wakil Ketua Bidang Energi dan Kelistrikan Persatuan Insinyur Indonesia)

LNG sebagai transportation fuel di Indonesia sekarang ini menjadi salah satu opsi terbaik di dalam pemenuhan kebutuhan energi di Indonesia akibat dari kenaikan harga dan kelangkaan minyak bumi. Mengingat karena LNG infrastructure transportation fuel development adalah high capital investment maka semua yang terlibat dalam LNG supply chain  ini mengharapkan komitmen dan usaha terintegrasi oleh LNG provider (pemilik LNG plant), LNG distributor, pemilik fueling station dan operator, dan pemilik kendaraan berbahan bakar LNG.

Kesuksesan pengembangan infrastruktur LNG transportation fuel haruslah melalui perencanaan jangka panjang melibatkan komitmen dari berbagai pihak tadi mulai dari hulu sampe ke hilir, mulai dari supplier LNG sampai pada pemilik kendaraan berbahan bakar LNG. Investasi substansial oleh stakeholders sangat dibutuhkan di dalam menghasilkan beneficial business case mulai dari produksi gas, proses liquefaction, distribusi dan dispensi sehingga semuanya bisa memperoleh margin yang tertentu yang semestinya diatur oleh pemerintah supaya semua komponen atau stakeholder bisa memperoleh keuntungan jangka panjang. Semua stakeholder ini termasuk pemerintah sebagai regulator di dalamnya  butuh bekerja sama di dalam memutuskan transaksi yang terjadi pada pasar jangka panjang.

Bis-bis dan truk berbahan bakar diesel bisa kemudian dikonversi ke LNG fuel menjanjikan ekonomi attraktif dan pasar yang sangat potensial. Dengan adanya harga diesel yang lebih mahal dari LNG, katakanlah 1 liter diesel sekarang ini di Indonesia seharga Rp. 4,500 per liter (bersubsidi) dan Rp. 12,000 per liter (tak bersubsidi) sesuai dengan harga minyak bumi (USD 90-100 per barrel) dan harga LNG per liter adalah Rp. 5,500 – 6,000 per liter (tak bersubsidi) bisa menempatkan bahan bakar LNG sangat layak dan prospektif untuk dipertimbangkan sebagai bahan bakar masa depan dan sangat bisa mengurangi pembengkakan APBN akibat subsidi BBM yang berkelanjutan. Di sisi lain, Pemerintah dituntut untuk menaikkan harga BBM premium dan diesel mengingat Pemerintah harus menyiapkan anggaran lebih dari Rp. 320 Trilyun di Tahun 2013 yang tentunya apabila ini tidak diperhatikan pasti akan mencekik keuangan negara dari tahun ke tahun.

Sebagai perbandingan, Negara lain yang juga menjual BBM dengan harga cukup murah, mendekati Indonesia, adalah Malaysia. Di Negeri Jiran itu, jika dikonversi ke Rupiah, diesel seharga Rp 4.800 per liter. Sama seperti Indonesia, pemerintah Malaysia juga menentukan harga BBM dan memberikan subsidi. Adapun di Vietnam,  diesel dijual Rp 7.100 per liter. Sedangkan di Thailand, harga  diesel Rp 7.400 per liter. Di Filipina,  diesel dijual Rp 6.700 per liter.
Kalau di Singapura, harga BBM sudah ditentukan pasar, tanpa subsidi pemerintah, bahkan pajak untuk BBM ditentukan cukup tinggi, dan marjin keuntungan yang diambil penjual perusahaan BBM cukup besar. Karena itu, harga BBM disana mahal. Sebagai gambaran, harga diesel di Singapura mencapai Rp 8.500 per liter.

Faktor-faktor yang mesti diperhatikan di dalam upaya transisi dari penggunaan diesel ke LNG sebagai bahan bakar antara lain adalah pertama, adanya ketersediaan supply gas dari sisi upstream untuk kebutuhan domestik, gas sekarang janganlah terus-menerus diekspor ke luar negeri seperti yang Pemerintah lakukan saat ini. Kedua, Pemerintah dan Swasta bersinergi di dalam membangun beberapa LNG plant di beberapa tempat. 1 LNG plant bisa melayani atau mendistribusikan 10 – 20 LNG fueling station dalam radius tertentu. LNG plant yang dibahas di sini tidak harus yang berkapasitas besar tapi cukup dengan skala 8 – 10 MMSCFD feed-gas. Biaya investasi LNG plant seperti ini bisa berkisar antara Rp. 300 Milyar – Rp. 400 Milyar. Ketiga, dipastikan ada sarana dan prasarana transportasi layak dan memadai untuk LNG transportation khususnya distribusi LNG menggunakan LNG truck seperti yang dilakukan di China, US, Canada dan beberapa negara maju lainnya. LNG carrier kapasitas kecil sekitar 10,000 M3 sampai 20,000 M3 juga sangat feasible untuk transportasi dari pulau ke pulau. Keempat, diharapkan Pemerintah  mulai membangun LNG fueling station di beberapa tempat dan bisa dijangkau oleh LNG truck (distributor LNG). Kapasitas pengisian LNG ini bisa berkisar 35,000 – 40,000 liter per hari dan dilengkapi dengan LNG storage tank kapasitas 100,000 sampai pada 200,000 liter. Biaya LNG fueling station dengan ukuran ini bisa berkisar Rp. 10 Milyar – Rp. 20 Milyar di luar lahan. Kelima, Pemerintah dan Swasta diharapkan menyiapkan converter kit untuk smooth transition dari diesel ke LNG, estimasi harga berkisar Rp. 100 Juta sampai dengan Rp. 200 Juta. Dan masih banyak lagi faktor-faktor lainnya yang bisa memudahkan terjadinya smooth transition ini.  Satu faktor yang paling penting adalah pemerintah harus mengintervensi semua stakeholder dari hulu sampai hilir tadi bersinergi di dalam membangun LNG transportation fuel infrastructure dalam tataran pengembangan jangka panjang.

Sebagai langkah awal, Pemerintah didukung oleh swasta bisa memulai pilot project di suatu daerah yang kaya akan gas alam dan membangun small-scale LNG plant dan LNG fueling station dan membagi-bagikan converter kit kepada pemilik kendaraan truk-truk dan alat berat lainnya termasuk bis-bis yang ada di daerah itu. Di Kabupaten Wajo misalnya, yang kaya akan gas alam, pemerintah daerah dan BUMD mengusulkan ke pemerintah dalam hal ini ESDM dan SKK Migas untuk diterapkan di daerah ini mulai dari gas supply infrastructure, small scale LNG plant, distribution system dan LNG fueling station sampai pada pembagian converter kit. Apabila ini ternyata berhasil dan bisa mengurangi subsidi akibat BBM tadi maka perlahan-lahan program konversi ini akan berjalan dan diterapkan di seluruh Indonesia.

M Sapri Pamulu, PhDHabibie Razak, P.Eng

Menjajaki Potensi Pengembangan Rice Husk Power Generation di Beberapa Kabupaten Penghasil Lumbung Padi di Sulawesi Selatan

Oleh:

Sapri Pamulu, Ph.D, Head of Strategic Management Office, PT Wiratman Indonesia, Staff Pengajar Universitas Indonesia

Habibie Razak, P.Eng., ASEAN Eng., Wakil Ketua Bidang Energi dan Kelistrikan Persatuan Insinyur Indonesia, Praktisi Oil, Gas & Mining

Indonesia dulunya pada saat jaman Pak Harto terkenal sebagai negara lumbung padi dengan program swasembada pangannya. Setiap daerah yang kaya akan lahan pertanian dituntut untuk menghasilkan padi guna memenuhi kebutuhan beras seluruh masyarakat Indonesia bahkan dulunya Indonesia pernah menjadi eksporter beras di dunia. Daerah-daerah penghasil padi ini membangun dan mendirikan pabrik-pabrik penggilingan padi di beberapa tempat untuk mengubah padi menjadi beras. Sisa dari penggilingan padi yang dinamakan sekam (rice husk) awalnya dibakar di udara begitu saja. Seiring dengan perkembangan teknologi beberapa negara di dunia seperti India, Kamboja, Brazil, Thailand dan negara-negara penghasil pangan di Asia mulai memikirkan untuk mengutilisasi sekam tadi menjadi sesuatu yang bervalue added untuk kebutuhan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Penggantian fossil fuels seperti minyak, batubara dan gas dengan energi biomass adalah merupakan sumber energi yang terbaharukan dan juga telah berkontribusi pada pengurangan emisi efek rumah kaca (emissions of greenhouse effect gases). Salah satu contoh biomass adalah sekam padi ini yang ternyata memiliki nilai kalori 3,200 kcal/kg.

Nilai kalori dari sekam ini dan jumlah tonnase sekam yang ada pada suatu daerah yang memiliki beberapa penggilingan padi sangat memungkinkan untuk dibuat pembangkit listrik bertenaga sekam padi semisal di Kabupaten Wajo dan Kabupaten Sidrap. Bagaimana pun juga, sangat perlu dipahami bahwa penggunaan sekam ini pada thermal generation, technology assessment sangat dibutuhkan, termasuk analisa ekonomi dan finansial dan juga studi tentang analisa mengenai dampak lingkungan sangat perlu diperhatikan.

Bagaimana pembangkit listrik berbahan bakar sekam bekerja? Konsepnya sebenarnya sama saja dengan pembangkit listrik tenaga batu-bara dimana pada sistem ini boiler digunakan membakar rice husk (sekam) untuk menghasilkan superheated steam. Steam yang dihasilkan tadi menuju ke turbine dan sisa steam yang ada pada low pressure menuju condenser di mana steam berubah menjadi air yang kemudian dipompa oleh boiler feedwater pump kembali ke boiler (closed thermal cycle).

Risk Husk Power Generation Simple Process Flow Diagram

Salah satu studi tentang penggunaan rice husk sebagai pembangkit listrik adalah suatu micro power station (MPS) yang berproduksi 24 Jam sehari, 346 hari per Tahun dengan total 8,300 Jam per Tahun. Targetnya adalah menyediakan supply listrik ke industri di mana pengoperasian MPS ini membutuhkan 25,730 Ton sekam dan wood bark per Tahun (70 – 75 Ton/Hari) dengan faktor utilisasi 0.94 lebih besar dari conventional power plant seperti coal, natural gas atau diesel yang faktor utilisasinya bervariasi dari 0.3 sampai dengan 0.76. Selama satu tahun beroperasi, MPS ini akan menghasilkan 9,960 MWh. 5,200 MWh dikonsumsi untuk industri dan 4,760 akan dijual ke pasar semisal untuk kebutuhan masyarakat sekitarnya. Jadi kapasitas MPS dari rice hust ini adalah sebesar 27- 28 MW design.

Biaya proyek seperti di atas dapat dipilah dalam beberapa sub-biaya antara lain: biaya land dan construction permitting, pekerjaan tanah dan pondasi serta bangunan, boiler design and manufacturing, turbine and generator, tubing & piping with related accessories, instalasi equipment dan konstruksi sampai pada start-up dan commissioning dengan total capital expenditure (CAPEX) adalah kurang lebih USD 16,500,000. Di sisi lain, proyek seperti ini juga memiliki benefit lingkungan karena membantu di dalam mengurangi green house effect (GHG) dan kita bisa meng-claim carbon credit dengan komposisi sebagai penggantian 9,960 MWh pembangkitan dan distribusi listrik menggunakan batubara dan gas alam. Komposisi yang lain adalah dengan adanya pengurangan emisi gas metana (reduction of emission of methane) dari 6,590 Ton per Tahun sekam yang akan dideposit ke dalam tanah. Sebagai tambahan, steam yang dihasilkan dari pembangkit listrik juga bisa digunakan mengeringkan padi, dan rice husk ash sebagai hasil pembakaran bisa digunakan sebagai campuran pengganti pada semen dan baja sama seperti yang dilakukan di PT Semen Tonasa dan PT Semen Bosowa, please correct me if I’m wrong.

Jadi biaya investasi pembangkit listrik berbahan bakar sekam ini adalah sekitar USD 600,000 per MW listrik. Berbicara mengenai return on investment (ROI) rata-rata pengembalian adalah 3.85 Tahun apabila disertai dengan penjualan carbon credit seperti yang dijelaskan di atas dan 4.7 Tahun tanpa penjualan carbon credit. Secara keseluruhan proyek ini adalah menarik dari sisi investasi. Pertanyaannya adalah berapa besar volume sekam yang kita punya di Kabupaten Wajo dan Sidrap ini? Dari situ kita bisa berhitung berapa MW listrik yang bisa kita hasilkan dan tentunya masih banyak faktor-faktor lain yang mesti diperhatikan sehingga proyek seperti ini bisa dilakukan di Tanah Bugis. Salah satu faktor yang paling signifikan adalah seberapa besar antusiasme pemerintah daerah di dalam mendukung program seperti ini. Kita sebagai profesional sangat dituntut untuk memberikan pemahaman ke Pemda akan potensi kekayaan daerah yang kita miliki dan strategi investasi seperti apa yang harus dilakukan demi kemajuan daerah.

Program investasi seperti ini juga sepertinya tidak bisa berjalan sesuai yang diharapkan apabila program peningkatan sumber pertanian tidak dilakukan dengan benar. Tidak ada padi artinya tidak ada sekam dan pada akhirnya tidak akan ada pembangkit listrik berbahan bakar sekam. Peningkatan produksi pangan seperti padi adalah suatu keharusan sehingga menghasilkan multiplier effect dari hulu ke hilir yang semuanya bisa menjadi potensi bisnis di tingkat Kabupaten maupun propinsi. Kita membutuhkan pemimpin yang bisa memikirkan grand strategy bagaimana membuat ide ini menjadi kenyataan, seorang pemimpin yang smart dan berintegritas.

Referensi:

M.O. Oliveira, J.M. Netto, Viability Study for use of Rice Husk in Electricity Generation by Biomass, Brazil, March 2012

Ideas Jorunal, Rice Husk Power in Thailand with Japanese Investment  http://fletcher.tufts.edu/CIERP/Publications/Ideas/Issues/~/media/Fletcher/Microsites/CIERP/Ideas/1_ideas/SasakiShotaroformat.pdf, 2007

LNG sebagai Bahan Bakar Kendaraan yang lebih Kompetitif dan Ramah Lingkungan

 

habibierazak

Satu dekade ini sudah banyak negara secara agresif memilih LNG sebagai sumber energi yang ramah lingkungan karena kadar emisi 85% bisa dikurangi dibandingkan dengan menggunakan batubara dan minyak bumi. Negara-negara maju dan berkembang seperti China, Malaysia termasuk Indonesia sudah meng-explore dan mengembangkan gas alam mereka untuk menghasilkan LNG di dalam melayani kebutuhan energi di Asia dan seluruh dunia.

Liquified Natural Gas (LNG) untuk energi bukan hanya digunakan untuk pembangkit listrik turbin gas, cooking and heating untuk industri dan rumah tangga tapi juga sudah banyak digunakan pada aplikasi bahan bakar pengganti diesel di negara seperti China dan Jepang. Sekarang ini di Indonesia harga LNG di kisaran USD 14 – 18 per MMBTU sedangkan harga diesel tak bersubsidi adalah USD 28 – 30 per MMBTU. Jadi harga LNG hanya 50% dari diesel. Ini adalah pertanda LNG lebih kompetitif dari minyak bumi.
Apa itu LNG? LNG adalah gas alam yang didinginkan ke suhu -162 derajat celcius untuk kemudahan transportasi gas jarak jauh di mana gas dikondensasi menjadi cair dengan volume menjadi 600 kali lebih kecil dari volume gas alam (1/600 volume gas alam). LNG menjadi bahan bakar alternatif bukan hanya karena ramah lingkungan tapi harga LNG di pasar dunia menjadi lebih murah dari harga diesel.

Sebagai perbandingan di China harga diesel tak bersubsidi adalah USD 1.256/liter atau setara Rp. 11.900/liter sedangkan harga LNG adalah USD 0.752/Nm3 atau sekitar 14 USD/MMBTU atau Rp. 7.100 per Nm3. Konsumsi diesel per hari per truk atau bis adalah 26 liter/Km sehingga biaya bahan bakar diesel adalah USD 179.68 per hari atau setara Rp. 1.700.000 per hari. Dengan menggunakan mixed fuel system 30% diesel dan 70% LNG maka 7.8 liter diesel/22.75 Nm3 LNG pada jarak 100 Km biaya bahan bakarnya hanya USD 148 atau Rp. 1.406.000 per hari. Jadi untuk 1 truk atau bus LNG per hari per 100 Km bisa lebih efisien Rp. 300.000,-

Penghematan biaya per Tahun per 1 unit kendaraan adalah Rp. 300.000,- x 300 hari = Rp. 91.200.000. Pembelian satu unit inverter mesin diesel ke LNG adalah Rp. 106.400.000 sehingga periode pengembalian (payback period) adalah 1,2 tahun. Sekarang pertanyaannya adalah berapa jumlah truk dan bus berbahan bakar diesel di Indonesia dikalikan dengan penghematan Rp. 300.000 per unit? Menurut sumber kementerian perhubungan (2010) jumlah truk dan bis sampai Tahun 2009 adalah 4,2 juta unit truk dan 6,2 juta unit bis, totalnya adalah 10,4 juta unit sehingga dapat dihitung total penghematan dengan menggunakan bahan bakar LNG adalah lebih dari Rp. 3 Trilyun per hari dengan asumsi semua truk dan bis beroperasi dalam 1 hari itu.

LNG Plant di China

LNG Plant di China

Untuk pembelian dan pembangunan (capital expenditure-CAPEX) fasilitas stasiun pengisian LNG (di luar tanah) untuk 200 bis/truk adalah sekitar USD 1,2 Juta atau Rp. 11,68 Milliar. Biaya operasional dan pemeliharaan sekitar 10% dari CAPEX. Apabila kita melanjutkan perhitungan lagi ke periode pengembalian maka kurang dari 2 Tahun investasi kembali modal. Begitu pun dengan membangun LNG Plant di China dan Indonesia rata-rata periode pengembalian adalah kurang dari 3 Tahun.

Di China ada sekitar 23 pabrik mini LNG dibangun semuanya untuk melayani kebutuhan pasar domestik China yang terkenal sebagai negara daratan. LNG ditransportasi dengan menggunakan LNG truck dari propinsi satu ke propinsi lain dari kota yang satu ke kota yang lain. Bagaimana dengan Indonesia? Kita kaya akan gas alam dari Sabang sampai Merauke sudah saatnya pemerintah mendorong industri LNG menjadi lebih maju dan memastikan gas alam kita diutilisasi untuk kebutuhan domestik yang dicanangkan melalui strategi kebijakan energi nasional.

*) Penulis adalah Praktisi Mining, Oil & Gas, seorang aktifis PII, Wakil Ketua Bidang Energi dan Kelistrikan, seorang Insinyur Profesional Madya dan teregistrasi ASEAN Engineer.