Focus Group Discussion Membahas Pengaturan Kebijakan MRA Konstruksi, Kementerian PUPR, 20 September 2018

Direktorat Jenderal Bina Kompetensi dan Produktivitas Konstruksi Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Terpadu Paket Pekerjaan Kontraktual di Balai Diklat PUPR Wilayah III Pasar Jumat, Jakarta Selatan. FGD Terpadu kontraktual ini dibuka oleh Ellis Sumarna mewakili Direktur Bina Kompetensi dan Produktivitas Konstruksi. Ellis dalam sambutannya menyampaikan bahwa kementerian PUPR diberi tugas dan tanggung jawab untuk menyelesaikan infrastruktur nawacita dan padat karya sesuai mandat Presiden Joko Widodo. Tentunya untuk menyelesaikan infrastruktur yang bernilai ratusan trilyun sesuai dengan jadwal, kualitas dan anggaran yang tersedia dituntut sumber daya tenaga kerja konstruksi yang handal dan produktif di dalam mengelola manajemen proyek yang terdiri dari man, money, machine and material dan juga penguatan inovasi dan penggunaan teknologi untuk mensukseskan proyek-proyek yang ada.

“FGD Terpadu ini terdiri dari tiga paket pekerjaan antara lain: penyusunan pedoman pengaturan kebijakan MRA bidang konstruksi, penyusunan pedoman pengembangan, pemantauan, dan pengendalian tenaga kerja konstruksi dan penyusunan rekomendasi inventarisasi perbaikan gap ketersediaan dan kebutuhan komponen produktivitas konstruksi. Setelah acara pembukaan dilanjutkan dengan sesi FGD yang dibagi ke dalam tiga ruangan berbeda” imbuh Ellis.

FGD penyusunan pedoman pengaturan kebijakan MRA bidang konstruksi dihadiri oleh setidaknya 15 peserta yang berprofesi sebagai arsitek dan insinyur. Hadir perwakilan arsitek pada FGD ini antara lain Didi Haryadi Indonesia Monitoring Committee (IMC) Profesi Arsitek dan Budi Bowo Leksono Project Manager PT Pandega Desain Weharima sedangkan perwakilan Insinyur yang sudah tersertifikasi AE-R dan ACPE antara lain Ir. Habibie Razak Persatuan Insinyur Indonesia Pusat (PII) Pusat, Ir. Alif Usman PT Nindya Karya, Ir. Riod Hardane PT Partono Fondas, Ir. Benhard Hutajulu dari Badan Kejuruan Elektro PII dan beberapa kawan insinyur lainnya.

Sesi FGD ini dipimpin oieh Dr. Rosmariani Arifuddin Tenaga Konsultan Kementerian PUPR membuka sesi dengan menjelaskan tujuan FGD ini dan pemaparan data terkait jumlah penyandang sertifikasi ASEAN Architect (AA) dan ASEAN Chartered Professional Engineer (ACPE), pengalaman jenis proyek menggunakan ACPE dan AA, pengalaman peran mengerjakan proyek internasional oleh pemegang sertifikat ASEAN ini, hambatan dalam pemnafaatan ACPE dan AA dan harapan kepada pemerintah untuk lebih mendayagunakan ACPE dan AA ini.

Sesi round table memberikan kesempatan kepada peserta FGD untuk memberikan masukan tanggapan atau pun sekedar sharing pengalaman. Didi dari perwakilan IMC Arsitek menegaskan bahwa pemerintah diharapkan bisa melakukan penyelarasan terhadap peraturan-peraturan pemerintah yang akan dikeluarkan terkait UU Jasa Konstruksi, UU Keinsinyuran dan UU Arsitek. Saat ini, kadang kita sebagai masyarakat tidak bisa membedakan antara ijin kerja, sertifikat kompetensi dan sertifikat okupansi atau jabatan. Hal senada disampaikan oleh Habibie Razak, Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) yang dikeluarkan oleh PII adalah ijin kerja, SKA yang dikeluarkan oleh LPJK dengan endorsement asosiasi profesi adalah sertifikat pengakuan kompetensi sedangkan perencana, pengawas atau pelaksana konstruksi adalah jenis okupansi atau jabatan. Di UU No. 2 Tahun 2017 Jasa Konstruksi menyebutkan bahwa surat keterangan kerja (SKK) untuk tenaga ahli konstruksi sebenarnya adalah sertifikat okupansi.

“Semestinya tahapan yang benar adalah pertama ijin praktek yang mesti dikeluarkan terlebih dahulu yang oleh profesi dokter disebut Surat Tanda Registrasi Dokter (STRD), oleh Arsitek disebut Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA) dan oleh profesi Insinyur disebut Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) baru kemudian keluar sertifikasi kompetensi/keahlian seperti SKA dan sertifikat kompetensi kerja (SKK) yang dimana insinyur atau arsitek bisa bekerja sebagai perencana, pengawas atau pelaksana konstruksi. Didi menambahkan “saat ini, di tingkat ASEAN sertifikasi ASEAN Architect (AA) belum disyaratkan dan kecendrungan para arsitek di tingkat ASEAN akan termotivasi untuk bekerja ke luar negeri apabila remunerasi dan benefitnya lebih baik. Sebagai contoh, Arsitek Singapura apabila bekerja di negara seperti Myanmar dan Kamboja mungkin tidak akan dibayar lebih baik daripada bekerja di dalam negerinya. Di Indonesia sendiri karena pangsa pasar yang sangat besar para arsitek kita cenderung akan lebih fokus pada proyek proyek dalam negeri daripada mencari pekerjaan atau proyek di luar negeri.

Budi Bowo perwakilan profesi arsitek pada FGD ini menyampaikan di perusahaannya ada sekitar 100 tenaga arsitek yang bekerja namun baru 2 yang memiliki sertifikasi ASEAN Architect (AA), ini dikarenakan mereka belum melihat benefit nyata dari sertifikasi ini. Bahkan arsitek luar negeri yang mendirikan perusahaan arsitek di Indonesia juga tidak disyaratkan sertifikasi apapun untuk bisa bekerja di dalam negeri. Habibie Razak menambahkan bahwa sertifikasi Insinyur Profesional Madya (IPM) yang dikeluarkan oleh Persatuan Insinyur Indonesia sudah diakui di tingkat ASEAN maupun APEC. Sedangkan pemegang ASEAN Engineer Register (AER) sudah mendapatkan pengakuan sebagai professional yang mendapatkan benefit lebih di perusahaan-perusahaan luar negeri seperti perusahaan minyak dan gas di Middle-East sana. “Ini karena brand PII yang melekat pada sertifikasi itu, sejarahnya bahwa sistem sertifikasi PII mengadopsi sistem sertifikasi the Institution of Engineers, Australia jadi tidak heran di Australia sertifikasi IPM kita diakui” ujar Habibie. “Mengapa sertifikasi AER lebih sound dan powerful dari ACPE itu juga dikarenakan untuk mendapatkan sertifikasi AER haruslah bersertifikasi IPM terlebih dahulu sedangkan AER dikeluarkan oleh ASEAN Federation of Engineering Organizations (AFEO) yang juga sudah menjadi anggota dari World Federation of Engineering Organizations (WFEO) sedangkan PII sebagai organisasi profesi insinyur juga sudah mendapatkan pengakuan dari APEC Engineer Committee.

Ir. Riod Hardane memberikan pendapatnya terkait knowledge transfer yang diharapkan dilakukan oleh insinyur asing tidak terjadi sesuai kenyataan bahkan terkadang kompetensi dan pengalaman mereka tidak lebih baik dari insinyur kita. Menanggapi itu Habibie menyatakan bahwa pengaturan tentang Insinyur asing yang akan bekerja di Indonesia sesuai dengan draft PP keinsinyuran haruslah memiliki sertifikasi insinyur profesional yang diakui oleh hukum negaranya dan apabila mereka belum memilikinya mereka diwajibkan mengikuti uji kompetensi dan dinyatakan lulus untuk mendapatkan sertifikat Insinyur Profesional dari Persatuan Insinyur Indonesia (PII). Insinyur asing yang bekerja di proyek pemerintah dan sawasta haruslah didampingi oleh tenaga insinyur nasional yang bersertifikasi insinyur profesional. Program knowledge transfer akan terjadi melalui program coaching, mentoring dan pelatihan. Insinyur asing tadi diwajibkan membuat laporan teknis terkait hasil knowledge transfer program yang dia lakukan dan dilaporkan ke PII sebelum insinyur asing tadi balik ke negaranya.

Ir. Benhard Hutajulu membagikan pengalamannya ketika bekerja di luar negeri, di salah satu perusahaan asing Amerika bahwa yang berhak bertanda tangan di atas gambar desain dan dokumen teknis lainnya adalah Professional Engineer (PE). Mereka bertanggung jawab terhadap desain yang dikerjakan oleh tenaga insinyur sebelum dirilis untuk dikonstruksi. Didi menambahkan bahwa praktek ini sudah dilakukan di tingkat pemerintah propinsi seperti DKI Jakarta. Hanya tenaga ahli yang memiliki IPTB bertanggung jawab terhadap desain yang dikeluarkan oleh tim tenaga arsitek maupun insinyur. Harapannya setelah UU Arsitek dirilis, para arsitek akan mengurus STRA untuk bisa melakukan praktek arsitektural.

Senada disampaikan Ir. Alif Usman PT NIndya Karya bahwa saat ini SKA yang dijadikan syarat untuk tender-tender pemerintah jadinya semuanya pada urus SKA namun untuk mendapatkan SKA ini beda-beda tingkat kesulitannya untuk setiap asosiasi profesi. Ada yang dalam hitungan hari sudah bisa dapat namun ada juga hingga hitungan bulan baru bisa keluar SKAnya. “Pengalaman saya, sertifikasi IPM yang dikeluarkan oleh PII lebih sulit mendapatkannya dibandingkan dengan SKA” ujar Alif. “Begitupun dengan sertifikasi ASEAN Engineer Register (AER) ini juga melalui proses yang cukup intens untuk bisa mendapatkannya, saya harus dapat IPM dulu baru bisa lanjut proses AER” tambah Alif.

Habibie menambahkan bahwa PII adalah organisasi profesi keinsinyuran yang sudah mendapatkan pengakuan internasional tentunya untuk bisa mempertahankan kredibilitas dan reputasinya dituntut untuk konsisten mengikuti sistem sertifikasi yang ada termasuk kesiapan untuk diaudit oleh komite ASEAN maupun APEC. “Setiap tahun mereka dari ASEAN maupun APEC datang ke Indonesia melakukan audit terhadap proses yang PII lakukan, mereka melakukan random check terhadap pemegang sertifikasi apakah mereka punya tanda bukti hasil uji kompetensi, notulensi hasil wawancara kelulusan dan juga bukti laporan program pengembangan keprofesionalan berkelanjutan (PKB) yang wajib disetor setiap tahunnya oleh pemegang sertifikat tadi”.

Dr. Rismariani mencatat masukan dari para peserta FGD untuk kemudian dijadikan bahan penyusunan pedoman perumusan kebijakan pemgaturan MRA. Harapannya para AA dan ACPE ini akan bisa mendapatkan benefit lebih dari MRA ini dan juga tentunya memberikan efek positif bagi kepentingan nasional. Rangkaian kegiatan FGD ini berlangsung mulai dari Pukul 09.00 hinggal Pukul 15.00 sore. Hadir juga pada kegiatan ini Dr. Ir. Bambang Goeritno Ketua Badan Kejuruan Sipil Persatuan Insinyur Indonesia (PII).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Time limit is exhausted. Please reload CAPTCHA.