Ikatan Alumni Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (IKA Teknik Unhas) bekerjasama dengan BPPT menggelar Focus Group Discussion (FGD) terkait dengan peluang hingga strategi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Kegiatan diskusi yang dihadiri beberapa pakar dan juga pemangku kepentingan tersebut berlangsung di Aula Gedung Menara Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Sabtu (20/1/2018). Acara diskusi dibuka oleh Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Unhas Dr Ir Abdul Rasyid Jalil MSi yang mewakili petinggi Unhas di kegiatan yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Teknik Unhas ini.
Sambutan dilanjutkan Pengurus Ika Teknik Unhas yang diamanahkan kepada Ir AM. Sapri Pamulu MEng PhD dan laporan Ketua Panitia Pelaksana FGD Aie Asri AN ST. Sapri Pamulu menjelaskan, diskusi ingin mendapatkan rumusan berupa usulan, terkait sosialisasi implementasi kebijakan PLTSa, seperti dimensi proyek, investasi, pendanaan, teknologi, dan storage, model pengembangan PLTSa di Indonesia Timur. “Kegiatan FGD ini dalam rangkaian acara Halalbihalal (HBH) Ikatek 2018. Namun selain itu kita ingin mendapatkan rumusan yang bisa dijadikan usulan strategi implementasi mengenai kebijakan Ketenagalistrikan Energi Terbarukan terkhusus PLTSa di Indonesia,” ujarnya. Peserta yang hadir dalam diskusi grup sebanyak 120 orang dari berbagai komponen, termasuk pelaku investasi, PLN, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi/BPPT, alumni teknik Unhas, praktisi, dan akademisi dari ITB serta Universitas Indonesia.
Sejumlah pembicara nasional hadir dalam FGD Tinjauan Regulasi Proyek Ketenagalistrikan Energi Terbarukan berbasis PLTSa. Selain dari pihak Kementrian ESDM, PT PLN, Kementerian Lingkungan Hidup, Wali Kota Makassar Muh Ramdhan Pomanto juga hadir. Wali Kota Makassar yang berlatar belakang arsitek tersebut mengemukakan tantangan dan hambatan terkait regulasi mengenai Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) terkhusus PLTSa di Kota Makassar masih banyak.
Danny Pomanto menganggap ‘tipping fee’ sebagai ‘bottle-neck’ dari pengelolaan sampah untuk pengelolaan ‘waste to energy’ atau sampah menjadi energi. Selain faktor regulasi, mahalnya teknologi yang digunakan dan investasi yang dikeluarkan juga menjadi kendala besar. “Namun, masalah fee ini jelas bisa menimbulkan masalah hukum. Itu sebabnya Pemda (Pemkot Makassar) enggan untuk mengeksekusi PLTSa ini,” ujarnya. Tipping fee adalah biaya yang dikeluarkan anggaran pemerintah kepada pengelola sampah, berdasarkan jumlah yang dikelola per ton atau satuan volume (m3).
Menurut Dani, permasalahan sampah di kota-kota besar penyelesaiannya harus terintegrasi dan terstruktur dimulai dari sisi hulu sampai hilir. Dari sisi hulu, bagaimana mengedukasi masyarakat untuk melakukan pemisahan sampah mulai dari rumah tangga, kemudian manajemen sampah oleh Pemkot melalui istilah bank sampah sampai pada pengelolaan di TPA. “Saat ini sudah ada sekitar 1000 bank sampah yang bertanggung jawab mengelola sampah di kota Makassar ini” ujar Dani.
Dani juga memaparkan 14 tahapan pengolahan sampah mulai dari rumah tangga sampai dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Satu lagi yang menurut Dani mesti diperhatikan adalah model penenderan proyek PLTSa ini sebaiknya menggunakan model tender investasi di mana setiap technology provider menyampaikan proposalnya termasuk keunggulan teknologi dan total biaya investasi berdasarkan teknologi dan model eksekusi proyeknya. Fase DED akan dilakukan juga oleh technology provider karena mereka yang akan menggaransi performance dari PLTSa yang dibangun dan akan dioperasikan.
Pembicara lain yang hadir Elis Heviati Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementrian ESDM. Topik yang akan dibawakan Pemaparan regulasi EBTKE pada PLTSa dan dampaknya terhadap iklim investasi di Indonesia. Tampil pula memaparkan materi Agus Saefuddin MSi (kepala Sub Direktorat Sarana dan Prasarana Direktorat Pengelolaan Sampah, Kementrian LH dan Kehutanan). Sesi pertama pagi hari menghadirkan walikota Makassar, perwakilan ESDM dan KLKH ini dimoderasi oleh Ir. Habibie Razak yang juga Coordinator Steering Committee pada FGD ini.
Diskusi sesi pertama berlangsung sangat alot, Halim Kalla hadir hingga acara selesai menyampaikan concernnya sebagai pengusaha terkait investasi PLTSa di Indonesia termasuk di Kota Makassar. Menurut Beliau, Pemerintah harus memperhatikan dua hal penting apabila investasi ini menjadi attraktif sehingga bisa diimplementasikan, pertama adalah biaya pengelolaan sampah mulai dari rumah tangga sampai TPA di kisaran 200 – 400 Ribu/Ton untuk pihak pengembang dan tarif listrik yang dijual ke PLN untuk investasi bisa economically viable apabila dijual di kisaran 19cent USD/Kwh. Dua point penting ini menjadi parameter utama untuk investasi PLTSa menjadi attraktif.
Sesi siang hari menghadirkan beberapa narasumber antara lain: Paul Butarbutar (Direktur Green Finance Asia South Pole), Dr Sri Wahyono (Direktur Pusat Teknologi Lingkungan BPPT), Jacky Latuheru (Senior Researcher, SMW & Energy Consultant), Ir Suhermin (Direktur PT Dimensi Barumas Perdana). Sesi kedua ini dimoderasi oleh Ir. Ma’rifat Pawellangi. Paul Butarbutar menjelaskan, terkait pembiayaan atau financing, PLTSa itu sangat memungkinkan jika kepastian investasi didapatkan dari pemerintah. Adapun syarat terkait investasi PLTSa ini bersifat umum dan khusus terkait dengan pengelolaan sampah. Hal tersebut meliputi beberapa hal, seperti resiko, manajemen, kebijakan pemerintah dan lainnya. “Pemerintah daerah perlu melihat dengan jelas kemampuan dari pengusul project. Dan harus melalui proses tender yang baik,” kata Direktur Green Finance Asia South Pole Paul Butarbutar. Saran Paul Butarbutar, sebaiknya memikirkan hal lebih jauh dalam hal manfaat dari proyek pengedaan PLTSa, daripada memikirkan hal-hal teknis seperti tipping fee atau yang lainnya.
Sementara itu, Ir. Jacky Latuheru dari Energy Consultant mengemukakan potensi sampah di Indonesia ini cukup besar. Indonesia memiliki 500 kota/kabupaten yang semuanya memiliki potensi penghasil sampah. Adapun tekait dengan proyek, lulusan Teknik Unhas itu menggarisbawahi, pemilihan teknologi proyek yang dapat mengurangi efek rumah kaca terkait penanganan atau pemanfaatan gas metana (CH4) dari sampah.
Sementara itu di sesi ketiga dimoderasi oleh Ir. Oesman Reza menghadirkan Ikhsan Asaad (GM PLN Distribusi Jakarta Raya) yang menjadi pembicara ketujuh mengetengahkan program PLN terkait dengan EBTKE. PLN sudah menyiapkan rencana pengembangan pembangkit dan transmisi. Hal itu meliputi; 1. Rencana pengembangan pembangkit dan transmisi, 2. Proyeksi bauran energi, 3. Pengembangan energi baru dan terbarukan, dan 4. Implementasi Peraturan Menteri (PM) no 50/2017.
Ikhsan Asaad dalam paparannya bercerita tentang pengalaman mengelola pembangkit listrik dan distribusinya ke masyarakat. PLN selain diberi mandat oleh pemerintah untuk melistriki seluruh masyarakat Indonesia juga dituntuk menekan biaya produksi pembangkitan listrik agar bisa lebih efektif dan efisien. Skema pembangkitan PLTS yang dihybrid dengan genset di malam hari menjadi solusi efektif untuk masyarakat di Morotai, Maluku dan juga beberapa skema pembangkitan lainnya semisal PLTB, Tidal Wave atau renewable energy lainnya bisa menjadi solusi yang efektif dan ramah lingkungan untuk pulau-pulau besar maupun kecil yang ada di Indonesia. “Tahun 2019, semua desa yang ada di Indonesia 100% harus dilistriki oleh PLN sebagaimana ditugaskan oleh Presiden Jokowi” imbuh Ikhsan Asaad, GM Disjaya ini. Ikhsan juga pada kesempatan ini memaparkan beberapa program kerja andalan Beliau di dalam memimpin PLN Disjaya ini diantaranya kampanye penggunaan kendaraan berbasis energi listrik, PLN power bank pengganti genset pada aktifitas konstruksi di DKI yang bisa memberikan penghematan signifikan kepada kontraktor, smart grid dan lainnya.
Sesi terakhir, Ir. Mulyawan Samad memaparkan beberapa kesimpulan dari FGD yang akan dibuat dalam satu rekomendasi tertulis dan diserahkan kepada pemerintah. Seperti melihat peran yang lebih terstruktur dari Pemerintah untuk mengintegrasikan penanganan sampah baik itu terkait dengan penanggulangan sampah maupun keterkaitannya dengan energi.
Hal ini sangat mendesak untuk menyelesaikan banyak aspek yang meresahkan baik itu pelaku bisnis maupun Pemda. Diharapkan hal-hal tersebut antara lain seperti tipping fee dan harga satuan energi listrik yang ditawarkan dapat diselesaikan dengan menyeluruh, masih tingginya tingkat kekurangsadaran, baik pihak pemerintah maupun rakyatnya dalam pemanfaatan sampah kota, Skema percepatan dalam siklus project Pembangunan PLT Sampah perlu ditinjau kembali.
Disarankan untuk meninjau kembali skema ini dengan lebih mengedepankan aspek investasi secara lebih luas, Penanganan pemerintah terhadap proyek dan investasi oil dan gas yang dikelola secara menyeluruh oleh Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas mungkin dapat dijadikan model, bagaimana menyelaraskan potensi sampah menjadi energi maupun penanganannya dengan program Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) termasuk bagaimana menciptakan atau meningkatkan environmental enterpreneurship pada masyarakat maupun pemerintah. Serta mengubah filosofi berfikir dari sekedar mengatasi lingkungan lebih ke penghasilan energi.
Pada FGD juga disimpulkan bahwa ada sekitar 10 daerah kabupaten/kota yang saat krisis penanganan sampah saat ini. Dan BPPT mendapat tugas untuk menghasilkan pilot project yang harus berhasil di 2018. Saat ini proyek percontohan di TPA Bantar Gebang. Sorotan juga diarahkan terkait efektifitas kerjasama BPPT dengan insitusi lain. Lalu perluanya kajian menyeluruh dapat dilaksanakan dengan semua stakeholder termasuk pemilik teknologi dan investor dalam memecahkan masalah terkait proyek penanganan sampah. Terbitnya Perpres 97 / 2017 yang merangkum secara komprehensif pengelolaan sampah dan diharapkan menjadi hawa segar bagi pemerintah daerah.
Diskusi juga mencatat beberapa poin penting terkait tantangan yang ada dan usaha yang bisa dilakukan terkait potensi PLTSa di Indonesia. Seperti adalanya ketidakjelasan mengenai Tipping Fee (biaya pengelolaan sampah). Kemudian strategi Pemda mencari solusi pengelolaan sampah tanpa/minimum Tipping Fee. Lalu masih minimnya alokasi negara untuk kebersihan dan pengelolaan sampah. Sebab sejauh ini soal sampah masih belum menjadi prioritas. Masih kurang matangnya skema pembelian tenaga listrik. Kemampuan Pemda dalam sistem, dokumentasi dan pelaksanaan pengadaan. Karakteristik sampah di Indonesia yang tidak homogen serta memiliki kadar air tinggi. Bagaimana implementasi RUEN dan RUED. Dan poin terakhir pemilihan teknologi yang tepat dalam pengelolaan sampah.
Ketua Halal biHalal 2018 IKATEK-UH Ir. Jusman Sikki dan Ketua Panitia Pelaksana Focus Group Discussion (FGD) Ikatan Alumni Teknik Unhas kali ini Asri An Nur, ST juga menyiapkan sertifikat kepesertaan yang bisa memberikan point tambahan bagi para Insinyur yang akan melaporkan PKB/CPDnya yang diwajibkan setiap tahunnya.
Reportase: Habibie Razak – Ketua Badan Otonomi Pengembangan Profesi Keinsinyuran IKATEK Unhas.