Category Archives: Opini Energi Alternatif

Menapaki Potensi Pengembangan Berkelanjutan Infrastruktur Liquefied Natural Gas Transportation Fuel di Indonesia

Sapri Pamulu, Ph.D ( Head of Strategic Management Office PT Wiratman Indonesia, Staff Pengajar Universitas Indonesia)  

Habibie Razak, P.Eng ( Project Manager Black & Veatch International, Wakil Ketua Bidang Energi dan Kelistrikan Persatuan Insinyur Indonesia)

LNG sebagai transportation fuel di Indonesia sekarang ini menjadi salah satu opsi terbaik di dalam pemenuhan kebutuhan energi di Indonesia akibat dari kenaikan harga dan kelangkaan minyak bumi. Mengingat karena LNG infrastructure transportation fuel development adalah high capital investment maka semua yang terlibat dalam LNG supply chain  ini mengharapkan komitmen dan usaha terintegrasi oleh LNG provider (pemilik LNG plant), LNG distributor, pemilik fueling station dan operator, dan pemilik kendaraan berbahan bakar LNG.

Kesuksesan pengembangan infrastruktur LNG transportation fuel haruslah melalui perencanaan jangka panjang melibatkan komitmen dari berbagai pihak tadi mulai dari hulu sampe ke hilir, mulai dari supplier LNG sampai pada pemilik kendaraan berbahan bakar LNG. Investasi substansial oleh stakeholders sangat dibutuhkan di dalam menghasilkan beneficial business case mulai dari produksi gas, proses liquefaction, distribusi dan dispensi sehingga semuanya bisa memperoleh margin yang tertentu yang semestinya diatur oleh pemerintah supaya semua komponen atau stakeholder bisa memperoleh keuntungan jangka panjang. Semua stakeholder ini termasuk pemerintah sebagai regulator di dalamnya  butuh bekerja sama di dalam memutuskan transaksi yang terjadi pada pasar jangka panjang.

Bis-bis dan truk berbahan bakar diesel bisa kemudian dikonversi ke LNG fuel menjanjikan ekonomi attraktif dan pasar yang sangat potensial. Dengan adanya harga diesel yang lebih mahal dari LNG, katakanlah 1 liter diesel sekarang ini di Indonesia seharga Rp. 4,500 per liter (bersubsidi) dan Rp. 12,000 per liter (tak bersubsidi) sesuai dengan harga minyak bumi (USD 90-100 per barrel) dan harga LNG per liter adalah Rp. 5,500 – 6,000 per liter (tak bersubsidi) bisa menempatkan bahan bakar LNG sangat layak dan prospektif untuk dipertimbangkan sebagai bahan bakar masa depan dan sangat bisa mengurangi pembengkakan APBN akibat subsidi BBM yang berkelanjutan. Di sisi lain, Pemerintah dituntut untuk menaikkan harga BBM premium dan diesel mengingat Pemerintah harus menyiapkan anggaran lebih dari Rp. 320 Trilyun di Tahun 2013 yang tentunya apabila ini tidak diperhatikan pasti akan mencekik keuangan negara dari tahun ke tahun.

Sebagai perbandingan, Negara lain yang juga menjual BBM dengan harga cukup murah, mendekati Indonesia, adalah Malaysia. Di Negeri Jiran itu, jika dikonversi ke Rupiah, diesel seharga Rp 4.800 per liter. Sama seperti Indonesia, pemerintah Malaysia juga menentukan harga BBM dan memberikan subsidi. Adapun di Vietnam,  diesel dijual Rp 7.100 per liter. Sedangkan di Thailand, harga  diesel Rp 7.400 per liter. Di Filipina,  diesel dijual Rp 6.700 per liter.
Kalau di Singapura, harga BBM sudah ditentukan pasar, tanpa subsidi pemerintah, bahkan pajak untuk BBM ditentukan cukup tinggi, dan marjin keuntungan yang diambil penjual perusahaan BBM cukup besar. Karena itu, harga BBM disana mahal. Sebagai gambaran, harga diesel di Singapura mencapai Rp 8.500 per liter.

Faktor-faktor yang mesti diperhatikan di dalam upaya transisi dari penggunaan diesel ke LNG sebagai bahan bakar antara lain adalah pertama, adanya ketersediaan supply gas dari sisi upstream untuk kebutuhan domestik, gas sekarang janganlah terus-menerus diekspor ke luar negeri seperti yang Pemerintah lakukan saat ini. Kedua, Pemerintah dan Swasta bersinergi di dalam membangun beberapa LNG plant di beberapa tempat. 1 LNG plant bisa melayani atau mendistribusikan 10 – 20 LNG fueling station dalam radius tertentu. LNG plant yang dibahas di sini tidak harus yang berkapasitas besar tapi cukup dengan skala 8 – 10 MMSCFD feed-gas. Biaya investasi LNG plant seperti ini bisa berkisar antara Rp. 300 Milyar – Rp. 400 Milyar. Ketiga, dipastikan ada sarana dan prasarana transportasi layak dan memadai untuk LNG transportation khususnya distribusi LNG menggunakan LNG truck seperti yang dilakukan di China, US, Canada dan beberapa negara maju lainnya. LNG carrier kapasitas kecil sekitar 10,000 M3 sampai 20,000 M3 juga sangat feasible untuk transportasi dari pulau ke pulau. Keempat, diharapkan Pemerintah  mulai membangun LNG fueling station di beberapa tempat dan bisa dijangkau oleh LNG truck (distributor LNG). Kapasitas pengisian LNG ini bisa berkisar 35,000 – 40,000 liter per hari dan dilengkapi dengan LNG storage tank kapasitas 100,000 sampai pada 200,000 liter. Biaya LNG fueling station dengan ukuran ini bisa berkisar Rp. 10 Milyar – Rp. 20 Milyar di luar lahan. Kelima, Pemerintah dan Swasta diharapkan menyiapkan converter kit untuk smooth transition dari diesel ke LNG, estimasi harga berkisar Rp. 100 Juta sampai dengan Rp. 200 Juta. Dan masih banyak lagi faktor-faktor lainnya yang bisa memudahkan terjadinya smooth transition ini.  Satu faktor yang paling penting adalah pemerintah harus mengintervensi semua stakeholder dari hulu sampai hilir tadi bersinergi di dalam membangun LNG transportation fuel infrastructure dalam tataran pengembangan jangka panjang.

Sebagai langkah awal, Pemerintah didukung oleh swasta bisa memulai pilot project di suatu daerah yang kaya akan gas alam dan membangun small-scale LNG plant dan LNG fueling station dan membagi-bagikan converter kit kepada pemilik kendaraan truk-truk dan alat berat lainnya termasuk bis-bis yang ada di daerah itu. Di Kabupaten Wajo misalnya, yang kaya akan gas alam, pemerintah daerah dan BUMD mengusulkan ke pemerintah dalam hal ini ESDM dan SKK Migas untuk diterapkan di daerah ini mulai dari gas supply infrastructure, small scale LNG plant, distribution system dan LNG fueling station sampai pada pembagian converter kit. Apabila ini ternyata berhasil dan bisa mengurangi subsidi akibat BBM tadi maka perlahan-lahan program konversi ini akan berjalan dan diterapkan di seluruh Indonesia.

M Sapri Pamulu, PhDHabibie Razak, P.Eng

Menjajaki Potensi Pengembangan Rice Husk Power Generation di Beberapa Kabupaten Penghasil Lumbung Padi di Sulawesi Selatan

Oleh:

Sapri Pamulu, Ph.D, Head of Strategic Management Office, PT Wiratman Indonesia, Staff Pengajar Universitas Indonesia

Habibie Razak, P.Eng., ASEAN Eng., Wakil Ketua Bidang Energi dan Kelistrikan Persatuan Insinyur Indonesia, Praktisi Oil, Gas & Mining

Indonesia dulunya pada saat jaman Pak Harto terkenal sebagai negara lumbung padi dengan program swasembada pangannya. Setiap daerah yang kaya akan lahan pertanian dituntut untuk menghasilkan padi guna memenuhi kebutuhan beras seluruh masyarakat Indonesia bahkan dulunya Indonesia pernah menjadi eksporter beras di dunia. Daerah-daerah penghasil padi ini membangun dan mendirikan pabrik-pabrik penggilingan padi di beberapa tempat untuk mengubah padi menjadi beras. Sisa dari penggilingan padi yang dinamakan sekam (rice husk) awalnya dibakar di udara begitu saja. Seiring dengan perkembangan teknologi beberapa negara di dunia seperti India, Kamboja, Brazil, Thailand dan negara-negara penghasil pangan di Asia mulai memikirkan untuk mengutilisasi sekam tadi menjadi sesuatu yang bervalue added untuk kebutuhan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Penggantian fossil fuels seperti minyak, batubara dan gas dengan energi biomass adalah merupakan sumber energi yang terbaharukan dan juga telah berkontribusi pada pengurangan emisi efek rumah kaca (emissions of greenhouse effect gases). Salah satu contoh biomass adalah sekam padi ini yang ternyata memiliki nilai kalori 3,200 kcal/kg.

Nilai kalori dari sekam ini dan jumlah tonnase sekam yang ada pada suatu daerah yang memiliki beberapa penggilingan padi sangat memungkinkan untuk dibuat pembangkit listrik bertenaga sekam padi semisal di Kabupaten Wajo dan Kabupaten Sidrap. Bagaimana pun juga, sangat perlu dipahami bahwa penggunaan sekam ini pada thermal generation, technology assessment sangat dibutuhkan, termasuk analisa ekonomi dan finansial dan juga studi tentang analisa mengenai dampak lingkungan sangat perlu diperhatikan.

Bagaimana pembangkit listrik berbahan bakar sekam bekerja? Konsepnya sebenarnya sama saja dengan pembangkit listrik tenaga batu-bara dimana pada sistem ini boiler digunakan membakar rice husk (sekam) untuk menghasilkan superheated steam. Steam yang dihasilkan tadi menuju ke turbine dan sisa steam yang ada pada low pressure menuju condenser di mana steam berubah menjadi air yang kemudian dipompa oleh boiler feedwater pump kembali ke boiler (closed thermal cycle).

Risk Husk Power Generation Simple Process Flow Diagram

Salah satu studi tentang penggunaan rice husk sebagai pembangkit listrik adalah suatu micro power station (MPS) yang berproduksi 24 Jam sehari, 346 hari per Tahun dengan total 8,300 Jam per Tahun. Targetnya adalah menyediakan supply listrik ke industri di mana pengoperasian MPS ini membutuhkan 25,730 Ton sekam dan wood bark per Tahun (70 – 75 Ton/Hari) dengan faktor utilisasi 0.94 lebih besar dari conventional power plant seperti coal, natural gas atau diesel yang faktor utilisasinya bervariasi dari 0.3 sampai dengan 0.76. Selama satu tahun beroperasi, MPS ini akan menghasilkan 9,960 MWh. 5,200 MWh dikonsumsi untuk industri dan 4,760 akan dijual ke pasar semisal untuk kebutuhan masyarakat sekitarnya. Jadi kapasitas MPS dari rice hust ini adalah sebesar 27- 28 MW design.

Biaya proyek seperti di atas dapat dipilah dalam beberapa sub-biaya antara lain: biaya land dan construction permitting, pekerjaan tanah dan pondasi serta bangunan, boiler design and manufacturing, turbine and generator, tubing & piping with related accessories, instalasi equipment dan konstruksi sampai pada start-up dan commissioning dengan total capital expenditure (CAPEX) adalah kurang lebih USD 16,500,000. Di sisi lain, proyek seperti ini juga memiliki benefit lingkungan karena membantu di dalam mengurangi green house effect (GHG) dan kita bisa meng-claim carbon credit dengan komposisi sebagai penggantian 9,960 MWh pembangkitan dan distribusi listrik menggunakan batubara dan gas alam. Komposisi yang lain adalah dengan adanya pengurangan emisi gas metana (reduction of emission of methane) dari 6,590 Ton per Tahun sekam yang akan dideposit ke dalam tanah. Sebagai tambahan, steam yang dihasilkan dari pembangkit listrik juga bisa digunakan mengeringkan padi, dan rice husk ash sebagai hasil pembakaran bisa digunakan sebagai campuran pengganti pada semen dan baja sama seperti yang dilakukan di PT Semen Tonasa dan PT Semen Bosowa, please correct me if I’m wrong.

Jadi biaya investasi pembangkit listrik berbahan bakar sekam ini adalah sekitar USD 600,000 per MW listrik. Berbicara mengenai return on investment (ROI) rata-rata pengembalian adalah 3.85 Tahun apabila disertai dengan penjualan carbon credit seperti yang dijelaskan di atas dan 4.7 Tahun tanpa penjualan carbon credit. Secara keseluruhan proyek ini adalah menarik dari sisi investasi. Pertanyaannya adalah berapa besar volume sekam yang kita punya di Kabupaten Wajo dan Sidrap ini? Dari situ kita bisa berhitung berapa MW listrik yang bisa kita hasilkan dan tentunya masih banyak faktor-faktor lain yang mesti diperhatikan sehingga proyek seperti ini bisa dilakukan di Tanah Bugis. Salah satu faktor yang paling signifikan adalah seberapa besar antusiasme pemerintah daerah di dalam mendukung program seperti ini. Kita sebagai profesional sangat dituntut untuk memberikan pemahaman ke Pemda akan potensi kekayaan daerah yang kita miliki dan strategi investasi seperti apa yang harus dilakukan demi kemajuan daerah.

Program investasi seperti ini juga sepertinya tidak bisa berjalan sesuai yang diharapkan apabila program peningkatan sumber pertanian tidak dilakukan dengan benar. Tidak ada padi artinya tidak ada sekam dan pada akhirnya tidak akan ada pembangkit listrik berbahan bakar sekam. Peningkatan produksi pangan seperti padi adalah suatu keharusan sehingga menghasilkan multiplier effect dari hulu ke hilir yang semuanya bisa menjadi potensi bisnis di tingkat Kabupaten maupun propinsi. Kita membutuhkan pemimpin yang bisa memikirkan grand strategy bagaimana membuat ide ini menjadi kenyataan, seorang pemimpin yang smart dan berintegritas.

Referensi:

M.O. Oliveira, J.M. Netto, Viability Study for use of Rice Husk in Electricity Generation by Biomass, Brazil, March 2012

Ideas Jorunal, Rice Husk Power in Thailand with Japanese Investment  http://fletcher.tufts.edu/CIERP/Publications/Ideas/Issues/~/media/Fletcher/Microsites/CIERP/Ideas/1_ideas/SasakiShotaroformat.pdf, 2007

LNG sebagai Bahan Bakar Kendaraan yang lebih Kompetitif dan Ramah Lingkungan

 

habibierazak

Satu dekade ini sudah banyak negara secara agresif memilih LNG sebagai sumber energi yang ramah lingkungan karena kadar emisi 85% bisa dikurangi dibandingkan dengan menggunakan batubara dan minyak bumi. Negara-negara maju dan berkembang seperti China, Malaysia termasuk Indonesia sudah meng-explore dan mengembangkan gas alam mereka untuk menghasilkan LNG di dalam melayani kebutuhan energi di Asia dan seluruh dunia.

Liquified Natural Gas (LNG) untuk energi bukan hanya digunakan untuk pembangkit listrik turbin gas, cooking and heating untuk industri dan rumah tangga tapi juga sudah banyak digunakan pada aplikasi bahan bakar pengganti diesel di negara seperti China dan Jepang. Sekarang ini di Indonesia harga LNG di kisaran USD 14 – 18 per MMBTU sedangkan harga diesel tak bersubsidi adalah USD 28 – 30 per MMBTU. Jadi harga LNG hanya 50% dari diesel. Ini adalah pertanda LNG lebih kompetitif dari minyak bumi.
Apa itu LNG? LNG adalah gas alam yang didinginkan ke suhu -162 derajat celcius untuk kemudahan transportasi gas jarak jauh di mana gas dikondensasi menjadi cair dengan volume menjadi 600 kali lebih kecil dari volume gas alam (1/600 volume gas alam). LNG menjadi bahan bakar alternatif bukan hanya karena ramah lingkungan tapi harga LNG di pasar dunia menjadi lebih murah dari harga diesel.

Sebagai perbandingan di China harga diesel tak bersubsidi adalah USD 1.256/liter atau setara Rp. 11.900/liter sedangkan harga LNG adalah USD 0.752/Nm3 atau sekitar 14 USD/MMBTU atau Rp. 7.100 per Nm3. Konsumsi diesel per hari per truk atau bis adalah 26 liter/Km sehingga biaya bahan bakar diesel adalah USD 179.68 per hari atau setara Rp. 1.700.000 per hari. Dengan menggunakan mixed fuel system 30% diesel dan 70% LNG maka 7.8 liter diesel/22.75 Nm3 LNG pada jarak 100 Km biaya bahan bakarnya hanya USD 148 atau Rp. 1.406.000 per hari. Jadi untuk 1 truk atau bus LNG per hari per 100 Km bisa lebih efisien Rp. 300.000,-

Penghematan biaya per Tahun per 1 unit kendaraan adalah Rp. 300.000,- x 300 hari = Rp. 91.200.000. Pembelian satu unit inverter mesin diesel ke LNG adalah Rp. 106.400.000 sehingga periode pengembalian (payback period) adalah 1,2 tahun. Sekarang pertanyaannya adalah berapa jumlah truk dan bus berbahan bakar diesel di Indonesia dikalikan dengan penghematan Rp. 300.000 per unit? Menurut sumber kementerian perhubungan (2010) jumlah truk dan bis sampai Tahun 2009 adalah 4,2 juta unit truk dan 6,2 juta unit bis, totalnya adalah 10,4 juta unit sehingga dapat dihitung total penghematan dengan menggunakan bahan bakar LNG adalah lebih dari Rp. 3 Trilyun per hari dengan asumsi semua truk dan bis beroperasi dalam 1 hari itu.

LNG Plant di China

LNG Plant di China

Untuk pembelian dan pembangunan (capital expenditure-CAPEX) fasilitas stasiun pengisian LNG (di luar tanah) untuk 200 bis/truk adalah sekitar USD 1,2 Juta atau Rp. 11,68 Milliar. Biaya operasional dan pemeliharaan sekitar 10% dari CAPEX. Apabila kita melanjutkan perhitungan lagi ke periode pengembalian maka kurang dari 2 Tahun investasi kembali modal. Begitu pun dengan membangun LNG Plant di China dan Indonesia rata-rata periode pengembalian adalah kurang dari 3 Tahun.

Di China ada sekitar 23 pabrik mini LNG dibangun semuanya untuk melayani kebutuhan pasar domestik China yang terkenal sebagai negara daratan. LNG ditransportasi dengan menggunakan LNG truck dari propinsi satu ke propinsi lain dari kota yang satu ke kota yang lain. Bagaimana dengan Indonesia? Kita kaya akan gas alam dari Sabang sampai Merauke sudah saatnya pemerintah mendorong industri LNG menjadi lebih maju dan memastikan gas alam kita diutilisasi untuk kebutuhan domestik yang dicanangkan melalui strategi kebijakan energi nasional.

*) Penulis adalah Praktisi Mining, Oil & Gas, seorang aktifis PII, Wakil Ketua Bidang Energi dan Kelistrikan, seorang Insinyur Profesional Madya dan teregistrasi ASEAN Engineer.