Category Archives: Opini Energi Alternatif

Diundang PLN Unit Manajemen Konstruksi V Indonesia Timur Memberikan Kuliah LNG Project Management (8 Mei 2014)

Untuk kesekian kalinya, memenuhi undangan dari berbagai instansi negara maupun swasta dalam rangka knowledge sharing session tentang Teknologi LNG dan Manajemen Proyek EPC Minyak dan Gas. Peserta yang dihadiri oleh kurang lebih 40 professional dari unit 5 Manajemen Konstruksi yang bertanggung jawab terhadap wilayah Indonesia Timur meliputi Sulawesi, Maluku dan Papua.

Undangan ini diinisiasi oleh teman kuliah di Unhas, Bapak Ir. Sunandar Usman yang sekarang menjabat sebagai Asisten Manager Manajemen Konstruksi Unit 5 (UMK5) memberikan kesempatan selama 2 jam buat saya memperkenalkan teknologi paten LNG milik Black & Veatch, PRICO Single Mixed Refrigerant (SMR) Technology dan sekaligus memberikan pemaparan tentang strategi eksekusi model kontrak Engineering, Procurement and Construction (EPC) untuk proyek-proyek Oil & Gas di Indonesia maupun di dunia.

PLN1 PLN

 

 

Presentase saya ini sangat relevan dengan PLN di dalam usahanya mengurangi subsidi BBM pada pembangkit listrik mereka melalui program Mini LNG Projects Business Schemes di mana mereka menawarkan 2 skenario yaitu: Skenario pertama; PLN membeli gas di sisi sumur (hulu) dan kemudian bersama-sama dengan mitra bisnisnya membangun LNG plant, LNG transportation, LNG regasification facility dan infrastruktur pendukung lainnya memastikan gas terkirim ke pembangkit-pembangkit listrik mereka. Skenario kedua; PLN membeli dan menerima gas dari plant gate (sisi pembangkit listrik) yang artinya gas developer dan mitranya yang akan membangun LNG plant, LNG transportation, LNG regasification facility dan infrastruktur pendukung lainnya.

PLN2

 

Studi kasus yang saya angkat pada sesi kali ini adalah proyek EXMAR FLSRU – Floating, Liquefaction, Storaging, and Regasification Unit yang sementara ini dikonstruksi di Nantong Cina, Wison fabrication yard. Proyek ini melalui beberapa tahapan pengembangan dimulai dari Pre-FEED, FEED dan EPC stage. EXMAR project saat ini onschedule dan akan mulai beroperasi pada kuarter pertama Tahun 2015 dan sekaligus menjadi the World First Floating LNG Production Unit di dunia.

Saya memberikan sedikit banyak penjelasan mengapa proyek-proyek Oil & Gas mengharuskan melakukan FEED stage sebelum lanjut ke EPC. Menurut AACE INT. RP #18R-97 tentang estimate classification, fase Class 3 yang biasa disebut FEL-3 Phase atau FEED, output dari fase ini akan menghasilkan estimasi -10% to 20% (typical B&V estimate: +/- 10-15%). Mengapa bisa demikian akuratnya? Karena pada fase FEED project definition sudah lebih jelas sampai pada level 40% clarity, deliverables FEED itu sendiri antara lain: Block Flow Diagram (BFD), Plot Plans, Process Flow Diagram (PFD), Utility Flow Diagram (UFDs), Piping & Instrument Diagrams (P&IDs), Heat & Material Balances, Process Equipment List, Utility Equipment List, Electrical One-Line Drwawings, Specifications & Datasheets dan termasuk Equipment Arrangement Drawings. Output atau deliverables ini memberikan informasi yang mumpuni untuk mendevelop estimasi akurasi +/- 10 to 15% dan memberikan kenyamanan yang lebih luas bagi client untuk melakukan Final Investment Decision (FID) dan moving to EPC stage.

PLN3Diskusi mengenai manajemen proyek yang dijalankan teman-teman PLN UMK. Mereka bertanggung jawab melakukan supervisi di lapangan selama fase konstruksi dan melakukan program quality control sampai pada commissioning dan startup. Ada beberapa proyek yang dikerjakan EPC contractor dari China dan permasalahan yang dihadapi kerap kali adalah kontraktor China ini tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan standar dan spesifikasi internasional seperti ASME, ANSI, NEMA, IEC dan lainnya. Kebanyakan material dan equipment yang disupply juga di bawah standard internasional. Lessons learnt yang bisa dipetik adalah memastikan kontrak antara PLN dan kontraktornya memasukkan code, spesifikasi dan standard termasuk material dan equipment yang disupply dan juga bagaimana mereka melakukan pekerjaan konstruksi. Sebaiknya pada saat melakukan evaluasi penentuan pemenang, tidak hanya melihat harga termurah tetapi lebih fokus pada penilaian teknis sehingga kontraktor yang terpilih bisa menghasilkan kualitas pekerjaan sesuai dengan yang ditargetkan oleh PLN.

PLN4

 

Bahan pembelajaran buat semuanya adalah  proyek adalah suatu investasi jangka panjang, jangan hanya terfokus pada sisi capital expenditure saja tapi juga harus melihat berapa lama ekspektasi ROI, payback period dan IRRnya. Mungkin CAPEXnya agak tinggi tetapi Operational  Expenditurenya (OPEX) jauh lebih murah karena kehandalan equipment dan material yang terpasang sehingga memungkinkan sistem pembangkit listrik bisa beroperasi sepanjang tahun tanpa mengalami down time yang signifikan. Gas turbine dari GE atau Siemens mungkin bisa lebih mahal dari gas turbine merek lain karena merek seperti ini bisa beroperasi sampai 345 hari per tahun dibandingkan gas turbine yang sering sesak nafas dan batuk-batuk dan beroperasi kurang dari 250 hari per tahun. Sekarang mana yang lebih cepat periode pengembaliannya? Proforma economic analysis akan menjadi referensi untuk memilih system yang lebih robust dan reliable.

Dua jam berlalu dan tibalah saatnya mengakhiri tanya jawab dan presentase ini, Pak Rachman Tinri sebagai host dari knowledge sharing session kali ini menutup sesi ini diikuti oleh tepuk tangan dari para peserta.

 

 

Menjadi Pembicara, Panelis, Chairperson dan Moderator di LNG Asia Summit 2014 (24 & 25 April 2014)

Oleh: Habibie Razak, P. Eng – Project Manager & Seller Doer, Oil & Gas, Black & Veatch International Company

LNG Asia Summit 2014 kali ini diadakan di Swiss Belhotel Jl. Kartini Mangga Besar menyisakan kenangan yang tak pernah terlupakan di mana pada event ini saya diutus sebagai pembicara dan panelist diskusi oleh perusahaan saya dan sekaligus diminta menjadi Chairperson pada sesi pagi hari pertama dan menjadi moderator pada diskusi panel sesi pagi juga di hari pertama. Undangan menjadi chairperson dan moderator datang tak disangka-sangka minus satu hari H dari conference organizer meminta kesiapan saya hari esok. Apa daya saya memang orangnya suka menerima tantangan, ya sudahlah saya terima undangan itu dan melaksanakannya keesokan harinya.

???????????????????????????????

 

Acara ini berlangsung selama satu setengah hari di mana pada hari pertama lebih mengfokuskan kepada beberapa topik antara lain: Indonesian LNG Industry Outlook pada sesi pagi dan pada siang hari dilanjutkan dengan topik FSRU & FLNG Development in Asia. Pada sesi FLNG development saya mempresentasekan kapabilitas Black & Veatch dan aliansinya di dalam suatu tema: FLNG: Meeting the Domestic Demand in Indonesia’s Archipelago. Presentase berlangsung selama 25 menit dan diikuti babakan tanya jawab. Pembicara hari pertama menampilkan Nusantara Regas, PLN, Galway Group dan beberapa perusahaan terkemuka lainnya.

Sedikit berbicara tentang FLNG berikut beberapa kutipan dari slides deck saya:

  • Floating LNG monetizing stranded offshore reserves
  • Floating LNG applications – Export onshore pipeline gas
  • Near-shore or dock side application
  • Protected waters – benign (met ocean conditions)
  • Moored at jetty / wharf or sea-island
  • Small to mid-scale LNG supply volumes – 0.5 – 2+ MMTPA
  • Move away from traditional onshore plants

Why do we need to move floating LNG production unit?

  • Fit for small to mid scale  production plants
  • Less complex
  • Low capital and operating costs
  • Faster schedule

SELECTION OF LIQUEFACTION TECHNOLOGY FOR OFFSHORE APPLICATION

  • Most important criteria – minimize the footprint
  • Simple to operate
  • Efficiency
  • Mitigating vessel motion – marinization
  • Flexibility to expand – scalability
  • Flexibility to changes in Feed gas
  • Turndown and rapid startup

Based on the above selection criterias, Black & Veatch PRICO SMR LNG Process  is the only one patented technology which met all requirements for offshore applications

???????????????????????????????????????

 

 

Hari kedua lebih fokus pada LNG Shipping & Transport and Current LNG Market Trends from Legal Perspective. Pembicara hari kedua menampilkan beberapa perusahaan transportasi LNG seperti PT Humpuss Intermoda, Mann Teknik AB dan beberapa perwakilan perusahaan lokal dan internasional lainnya.

Konferensi seperti ini tidak hanya melahirkan wawasan dan pengetahuan baru tentang dunia LNG secara umum tapi juga sebagai wadah untuk networking di antara pada pelaku bisnis LNG dimulai dari pemerintah, pengusaha dan investor untuk pembangunan liquefaction process, regasification, transportation and distribution sampai pada end user. Tak ketinggalan Black & Veatch sebagai LNG industry pioneer yang telah bermain di ranah ini selama 50+ tahun dengan lebih dari 50 proyek LNG di seluruh dunia menggunakan teknologi patent PRICO LNG process membuat posisi Black & Veatch tak terkalahkan dari engineering & EPC contractor lainnya di dunia. B&V lebih fokus dan terdepan untuk small to mid scale LNG development, tak terkalahkan.

???????????????????????????????

 

 

Kesimpulan akhir dari slides deck presentation saya antara lain adalah:

????????

  • Barge LNG moving forward – The world’s first FLNG will be LNG barge (PRE-EXMAR FLRSU – Q1 2015)
  • Cost effective and shorter schedule;
  • Bankability
  • Integrated WISON-Black & Veatch solution – Simple process and simple barge
  • Barge LNG proving to be good option for small to midscale facility

Saya merasa bangga dengan pencapaian yang saya miliki selama ini masih terus diberi kesempatan mewakili perusahaan di dalam mempromosikan B&V LNG qualification and experiences. Menjadi pembicara dari Indonesia bersanding dengan pembicara internasional yang sudah malang melintang di bisnis ini. Maju terus Habibie Razak menjadi pioneer LNG business di Indonesia dan Asia Tenggara.

 

 

 

 

 

 

 

Diutus sebagai Delegasi pada World Clean Coal Conference di Bali 9-10 April 2014

Konferensi internasional tentang pemanfaatan batubara yang dilaksanakan di Hotel Pan Pacific Tanah Lot, Kab. Tabanan, Bali berlangsung sesuai direncanakan melibatkan delegasi dari berbagai negara, technology licensor, pengusaha batubara, sampai pada delegasi pemerintah. Acara berlangsung selama 2 hari, Tanggal 9 – 10 April 2014 di Grand Balroom salah satu hotel sekaligus resort terkenal di Pulau Dewata ini.

Mungkin ada yang bertanya, Tanggal 9 kan bertepatan dengan jadwal Pemilu? Iya betul sekali karena acara ini saya dan teman-teman delagasi lainnya tidak menggunakan hak pilih di Pemilu legislatif kali ini.

Sitting down and listening Conference Situation

 

Perjalanan ke Bali dari Bandara Soekarno atta, Cengkareng hanya menempuh kurang lebih 1.5 jam dan mendarat di Bandara Gusti Ngurah Rai. Lokasi bandara tidak jauh dari Pantai Kuta, Bali, pantai terpopuler di Bali dan Indonesia umumnya. Hari Selasa, Tanggal 8 April tepatnya Pukul 13.30 PM dari Bandara kami langsung menuju Tanah Lot, salah satu lokasi wisata di Bali yang berada di sisi tepi pantai barat arah utara pulau Dewata. Perjalanan menempuh 1.5 jam dengan kondisi lalulintas ramai lancar dengan jarak tempuh kurang lebih 60 km dan selama itu pula kami banyak mendapatkan outlet-outlet di pinggir jalan yang menghadirkan kerajinan tangan dan seni pahat khas Bali. Dari dalam mobil kami melewati beberapa tempat peribadatan umat Hindu seperti Pura dan sejenisnya, sungguh mengesankan.

ID Card Sponsorship view

 

 

Hari pertama konferensi World Clean Coal menghadirkan Bob Kamandanu, Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia berbicara tentang coal policy and investment climate in Indonesia di mana Beliau mendorong sektor swasta dan BUMN untuk berinvestasi di sektor coal gasification dan coal upgrading dan bersama-sama mempresentasekan business case mereka di depan pemerintah.  Pupuk Kaltim tidak ketinggalan menghadirkan beberapa slides tentang Coal related Projects for Fertilizing Production. Yang menarik buat saya adalah presentase project portfolio dan technology overview of UHDE gasifier dibawakan oleh Claudio Marsico, Thyssen Krupp Industrial Solutions. Konferensi 2 hari kali ini menghadirkan Prof. Bukin Daulay, peneliti dari TEKMIRA kementerian ESDM sebagai host. Beliau sangat intens mengkampanyekan pemanfaatan batubara kalori rendah di Indonesia untuk memberikan nilai tambah buat sektor energi dan industri.

Pembicara dan topik pembahasannya di hari kedua tidak kalah menariknya dengan hari pertama menampilkan Muhammad Khayam mewakili Kementerian Perindustrian dan Pak Unggul Priyanto dari BPPT.  Pertamina yang diwakili oleh Djauhari Kunsetyanto memaparkan project mereka yaitu coal based fuel and chemical project di mana Pertamina saat ini bekerja sama dengan Celanese, USA di dalam pengembangan ethanol dan E10 gasoline dari batubara.

Finally, giliran perwakilan dari Black & Veatch, George Gruber, PE Technology Manager untuk gasification and chemicals memberikan kuliah dan ceramah tentang Indonesia Coal Gasification Opportunities. Beliau di dalam pemaparannya menjelaskan bahwa batubara kalori rendah dapat dikonversi menjadi high value products seperti: ammonia and urea, methanol and DME, SNG and LNG, diesel dan gasoline. Beliau juga memaparkan studi kasus tentang Indonesian low rank coal menggunakan teknologi Shell, Siemens dan Uhde di mana Beliau memaparkan keunggulan-keunggulan dari 3 teknologi ini dari sisi capital dan operating expenditures. Menurut George Gruber, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan teknologi gasifikasi antara lain: karakteristik batubara seperti nilai kalori, ash content dan kadar air, produk akhir yang dihasilkan dan aplikasinya, skala pabrik dan ekspektasi reliabilitasnya, capital investment (CAPEX), operating expenditure (OPEX) dan faktor-faktor lainnya. Di ujung presentase Mr. Gruber menampilkan product case economics dengan asumsi harga batubara adalah masing-masing 20 USD/ton dan 30 USD/ton untuk menghasilkan methanol, DME, gasoline, diesel dan naphtha, SNG, ammonia dan urea. Dari tabel yang ditampilkan menyimpulkan bahwa batubara sudah sangat feasible, economically viable untuk menghasilkan produk-produk di atas.

Presentation by George

 

Dua hari konferensi menyimpulkan bahwa gasifikasi batubara adalah layak berdasarkan pendekatan teknis dan ekonomis dan diharapkan kerjasama yang apik antara pihak akademisi, businessman dan government untuk membuat investasi ini terwujud di masa depan.

Pan Pacific nameplate background Hard Rock Cafe

 

 

 

Oh iya, mungkin ini petualangan yang tak kalah menariknya buat saya, Hari Jumat pagi Tanggal 11 April saya check out dari Hotel Pan Pacific dan bergegas menuju Kuta dan check in di salah satu Hotel dekat Pantai Kuta. Di hari itu kami menyempatkan berwisata ke Bali Safari, Monkey Forest di Ubud, Pantai Kuta dan beberapa obyek wisata lainnya. Tak lupa saya berfoto gagah di depan Hard Rock Hotel dan Cafe yang lokasinya berada tepat di depan Pantai Kuta. You know me lah saya fans berat Hard Rock. Hari Sabtu siang saya menuju Bandara Gusti Ngurah Rai dan terbang ke kota Daeng dengan pesawat Garuda Airlines. Kenapa harus Garuda? Iya karena saya adalah member setianya Garuda Miles ha ha ha…

 

 

 

Menjadi Peserta Focus Group Discussion tentang Penyiapan Regulasi Pemanfaatan Teknologi Gasifikasi Batubara di Indonesia

Follow up dari Konferensi Underground Coal Gasification dan Coal Gasification yang dilaksanakan oleh IBC Singapore bulan lalu, saya diundang oleh Puslitbang Tekmira, MINERBA Kementerian ESDM pada Tanggal 10 Desember 2013 di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan. Pembicara dan fasilitator yang diundang hadir tidak hanya dari perwakilan Dirjen Minerba tapi juga dari perwakilan Dirjen Minyak dan Gas Bumi.

ID FGD

FGD CG&UCG 10 Des 2013 - Copy

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pada kesempatan FGD ini terjadi pertukaran informasi tentang kesiapan bahan baku, regulasi feedstock dan pengusahaan teknologi pemanfaatan batubara yang dilakukan oleh berbagai pihak di Indonesia dengan sasaran sebagai berikut:

  1. Mengetahui perkembangan teknologi gasifikasi batubara, UCG dan CWM.
  2. Mengetahui kesiapan feedstock untuk implementasi teknologi gasifikasi batubara, UCG dan CWM.
  3. Tersusunnya masukan bagi regulasi pemerintah untuk pengusahaan teknologi gasifikasi batubara, UCG dan CWM.
  4. Mengetahui usulan tataniaga produk gasifikasi batubara, UCG dan CWM.
  5. Mempercepat penerapan teknologi gasifikasi batubara, UCG dan CWM.

Acara yang dibuka oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, Kementrian ESDM, Ibu Dra. Retno Damayanti Dipl. EST dan juga dimoderasi oleh Bapak Prof. Bukin Daulay melahirkan beberapa pembahasan yang akan dilanjutkan ke tahapan selanjutnya antara lain:

  1. Permitting issues. The processing permit of UCG & coal gasification to produce syngas will be under the department of coal & mineral.
  2. Permitting issues. The permit for trading & specification of coal gasification products consist of SNG, DME, & all other type of fuels will be by the department of oil & gas.
  3. Permitting issues. The permit for trading & specification of all petrochemical products will be by department of industry.
  4. Permitting issues. The permit for trading & specification of the coal gasification products for public electricity by the electricity department.
  5. The law and regulation pushing to utilize the coal and mineral resources to add value for domestic need, Law No. 4 Year 2009 will be released starting January 2014. The requirement is to build smelter and processing plant in Indonesia instead of just exporting in raw materials form.
  6. The background on why the government utilized the coal as fuel and raw material for petrochemicals
  • Coal resource is abundant
  • The decrease of domestic oil lifting production.
  • The increase of fuel consumption
  • The increase of import of fuel for domestic consumption
  • President Instruction No. 5/2006, the target for coal to liquids utilization in 2025 shall be over or equal to 2% of energy mix

7. Challenges on coal gasification

  • High investment
  • Limited infrastructures for coal to liquids and coal gasification supply chain
  • CO2 control

8. Government policy to push forward on coal gasification

  • Study and research on coal gasification and coal liquefaction
  • Facilitate the cooperation and joint study for this type of project
  • Facilitate the cooperation for supply guarantee of coal for petrochemical raw materials
  • Possibility to give investment incentives for this type of projects
  • Develop supply chain and specification on coal gasification products.

      9.  The coal price is estimated USD 14/Ton (I think this is low rank coals) for coal gasification sectors to produce fuels and chemicals. This will be added on the regulation.

     10.  Coal to DME will also be the option to displace the need for LPG for community and housing needs.

     11.  CWM is used to substitute the MFO in the industry.

     12.  Concerns from several companies such as MEDCO, Bukit Asam, Pupuk Indonesia & subsidiaries regarding the complexity of the permitting and licensing since all these business will involve both department of coal and mineral & oil and gas. The permitting for mining exploration and exploitation themselves are complicated.

     13.  Black & Veatch added the concerns on environment regulations and standards included in the new regulation to support & trigger the investment. The world bank and some international financing institution provided several requirement on environmental things. For example: Carbon capture mechanism to control emission, UCG EHS, etc. All requirements with regard to this concern have been sent to ministry ESDM.

Semoga dengan inisiatif yang dilakukan oleh Kementerian ESDM ini membuahkan hasil yang mumpuni dalam rangka mewujudkan regulasi coal gasification, underground coal gasification dan coal water mixture sehingga kebijakan ini menjadi dasar tumbuhnya iklim investasi industri di sektor ini. Dengan pemanfaatan batubara kita yang berkalori rendah melalui proyek-proyek gasifikasi akan meningkatkan ‘value added’ dan neraca kerja Insinyur Indonesia, multiplier effect sampai ke masyarakat lokal, meningkatkan jumlah lapangan pekerjaan, dan pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi sektor riil domestik Indonesia.

Ikutan Nimbrung di International Coal Gasification Conference di Singapura (19 – 22 Nopember 2013)

Konferensi coal gasification kali ini menghadirkan various speakers dari beberapa perusahaan multinasional yang bergerak di bidang energi, oil & gas. Masing-masing pembicara adalah professional and networker mengupas perkembangan proyek-proyek coal gasification dan underground coal gasification (UCG) yang sementara bergulir. Tak ketinggalan pembicara dari Indonesia mewakili beberapa instansi dan institusi pemerintah seperti Kementerian Energi, Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Coal gasification adalah suatu proses di mana raw carbonaceous fuels dioksidasi secara parsial untuk menghasilkan gaseous combustible products lainnya. Produk utama dari  gasifikasi adalah synthesis gas atau syngas, umumnya terdiri dari carbon monoxide (CO), hydrogen, methane, carbon dioxide, and nitrogen. sedangkan kategori teknologi gasifikasi batu-bara saat ini adalah fixed bed, fluidized bed, entrained flow – slurry feed dan entrained flow – dry feed.

21 Nov 2013

21 Nov 2013 (2)

 

 

 

 

 

 

 

 

In this today’s global energy mix, gasification has been processed to many downstream products such as:

  • Ammonia, urea for fertilizing
  • Methanol/DME/Gasoline/Olefins
  • Carbon dioxide together with methanol can produce acetic acid, phosgene to polyurethane
  • Hydrogen
  • Oxo alcohols to detergents, plasticizers.
  • Fischer tropsch to fuels (diesel, jet fuel, naphtha), lubricant base oils, drilling fluids, specialty waxes and others
  • Synthesis natural gas (SNG)
  • Town gas
  • Reduction gas for metals production
  • Gas turbines to electric power

 Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan di dalam memilih teknologi gasifikasi antara lain:

  • Karakteristik batubara seperti moisture content, flyash content, calorific value (CV), dan seterusnya
  • Produk yang akan dihasilkan (downstream products) dan aplikasinya. Syngas yang dihasilkan apakah akan dibuat methanol, fertilizer, SNG atau untuk pembangkit listrik. Setiap teknologi memiliki keunggulan pada aplikasi tertentu seperti MHI dryfeed entrained flow lebih banyak digunakan pada aplikasi IGCC dan SNG sebagai produk akhir.
  • Capital expenditure (CAPEX) yaitu biaya investasi keseluruhan proyek.
  • Operating expenditure (OPEX). Biaya operasional dan pemeliharaan dari suatu pabrik gasifikasi sebagai hasil dari pemilihan suatu teknologi.
  • Skala pabrik dan tingkat reliabilitasnya. Untuk skala besar (higher throughput) entrained-flow gasifier adalah opsi yang tepat.
  • Dan berbagai aspek lainnya.

Untuk tipikal low rank coal di Indonesia berdasarkan hasil beberapa studi, dryfeed entrained flow gasifier memiliki efisiensi yang lebih tinggi dan biaya investasi yang lebih murah.  The Shell Coal Gasification Process (SCGP) dengan high temperature heat recovery (HTHR) memiliki efisiensi tertinggi dan ideal untuk aplikasi IGCC. Teknologi bottom water quench kolaborasi antara Shell dan Wison juga fit untuk menghasilkan ammonia dan urea plant. Mitsubishi Heavy Industries (MHI) pun memiliki teknologi gasifikasi yang reliable untuk menghasilkan SNG dengan higher throughput.

Konferensi kali ini didominasi pembicara dari Australia antara lain wakil dari Latrobe Fertilizer Limited yang memberikan update tentang Latrobe Valley Coal Gasification to Urea Development, Liberty Resources tentang Denison Coal Gasification to Fertilizer Project & Development in Queensland, Australia. Salah seorang pembicara dari Mitsubishi Heavy Industries (MHI) juga memberikan paparan tentang Coal Gasification Technology and Business Approach: Power in Indonesia. Tak ketinggalan wakil dari Korea Western Power Corporation (KOWEPO) memberikan update tentang Korea’s First Integrated Gasification Combined-Cycle (IGCC) Plant.

Workshop time

 

Seperti biasa, pada setiap konferensi yang diadakan IBC Singapore, mereka juga mengadakan pre-conference sehari sebelumnya dan post-conference sehari setelahnya. Black & Veatch mengambil peranan signifikan di event ini dengan menghadirkan George Gruber, PE – Gasification Technology Manager membawakan workshop tentang Coal Gasification to LNG setelah sehari sebelumnya di konferensi Beliau memaparkan tentang Asia’s Coal Gasification to Methanol & Ethanol Market: Key Projects & Progress. Pada workshop ini Beliau dibantu oleh Habibie Razak, P.Eng (Assistant to Instructor) juga sekaligus mewakili Black & Veatch Jakarta office selama 2 hari konferensi dan 1 hari workshop.

 

 

 

Pada diskusi panel hari kedua konferensi mengangkat topik tentang Coal Gasification Financing, Partnerships & Joint Ventures. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul seperti: 

  • What makes a coal gasification project bankable?
  • An investor perspective on coal gasification projects
  • What are the risks involved with coal gasification projects?
  • What’s an effective risk mitigation strategy for coal gasification projects?
  • What are the expectations from the financers?
  • What finances options and structures are available?

Khusus untuk Indonesia project development, coal gasification diprediksi akan menjadi opsi di dalam pemenuhan kebutuhan energi domestik Indonesia dengan beberapa kondisi antara lain:   

  • The incentive from the government shall be available to support the attractiveness on this kind of investment.
  • The gradual removal on subsidy for oil and electricity in the near future will gradually increase the need on developing the alternative fuels in Indonesia. Coal to synthesis fuels will be the best option to go with.
  • The decrease of oil and gas lifting production in Indonesia is also a big concern since the production capacity is less than 850,000 barrel a day and if there’s no additional proven reserves the oil reserves will be out of supply less than 18 years from now.    
  • Harga natural gas akan menjadi lebih mahal di atas USD 10/MMBTU dari sumur eksplorasi gas, ini bisa diakibatkan karena menurunnya production lifting dan kurangnya penemuan-penemuan baru (new discovery).

Hasil diskusi di konferensi ini memberikan sedikit rough figure bahwa harga USD 9-10/MMBTU bisa dijadikan sebagai harga jual synthetic natural gas (SNG) yang dihasilkan dari coal gasification plant. Ini bisa menandakan bahwa biaya investasi dan OPEX bisa lebih rendah dari harga jual tadi, ini menarik untuk diinvestigasi lebih lanjut, however siapa pun yang memiliki deposit batubara low rank coal yang besar di Indonesia memiliki peluang untuk mengembangkan bisnis ini. Perusahaan Engineering dan EPC seperti Black & Veatch dan Wison bisa memberikan informasi lebih banyak tentang coal gasification ini mulai dari sisi teknikal sampai pada aspek bisnisnya. Salam sejahtera buat kita semua.

 

 

Kembali Menjadi Pembicara di Konferensi Insinyur se-Asia Tenggara tentang Teknologi Gasifikasi Batubara dan Peluang Bisnis di Indonesia

Pelaksanaan konferensi Insinyur se-Asia Tenggara dilaksanakan di Jakarta Convention Center (JCC) pada Tanggal 11-13 Nopember 2013 meninggalkan kesan impresif buat Habibie Razak sebagai salah seorang Insinyur Indonesia. Pada event kali ini saya membawakan kuliah dengan judul “The Application of Coal Gasification Technology & Its Business Opportunity for Indonesian Low Rank Coal Utilization” dengan durasi 20 menit diikuti sesi tanya jawab selama 10 menit yang diadakan pada Hari Selasa, 12 Nopember 2013, sesi technical paper, CAFEO-31, Jakarta.

Pada sesi tanya jawab,  saya mendapatkan banyak respon dan pertanyaan dari beberapa delegasi yang dihadiri oleh 50 peserta/delegasi dan kebanyakan dari mereka mempertanyakan sisi teknis dan juga aspek bisnis dari gasifikasi batubara di Indonesia seperti payback period & ROI, efek lingkungan selama pabrik dibangun dan selama beroperasi, sampai pada efek sosialnya (masyarakat sekitarnya). Pada akhir sesi ini saya menyimpulkan beberapa bullet points dari isi kuliah saya antara lain:

  • The coal reserves in Indonesia are abundant and more than 50 percent of those are categorized as low rank coals. The best solution to utilize these low rank coals is to go with gasification process.
  • There are three major types of gasification technology in the world, fixed bed, fluidized bed and entrained-flow technology.
  • Black & Veatch has over 30 years of experience  in coal gasification and other oil & gas technologies Black & Veatch performs feasibility studies (FS), front-end and engineering design (FEED), and engineering, procurement and construction (EPC) services to clients throughout the world.
  • Black & Veatch has performed studies on Indonesian coal gasification. B&V expertise and know-how is available to serve Indonesian clients and their future coal gasification and coal to chemical projects.
  • Building coal gasification and coal to chemicals plants in Indonesia are promising considering the coal will be the alternative future energy to substitute for oil and natural gas for vehicle fuels, chemical products and electricity generation. 

 4-During presentation3-During Presentation(3)Sehari sebelumnya, rekan saya dari Black & Veatch, mempresentasekan seputar floating LNG technology dengan judul “LNG Barge: Solution for Gas Supply to Indonesian Archipelago” pada sesi technical paper dan mendapatkan respon hangat dari beberapa delegasi negara-negara ASEAN di antaranya adalah dari Direktur Engineering salah satu perusahaan BUMN di Myanmar. Presentation showcase ini berlangsung selama 20 menit dan diikuti sesi tanya jawab. 

 

 

 

 

Beberapa kesimpulan presentasi floating LNG technology ini antara lain:

  • Black & Veatch has over 50 years of experiences in LNG liquefaction and regasification terminal. Black & Veatch performs feasibility studies (FS), front-end and engineering design (FEED), and engineering, procurement and construction (EPC) services to clients throughout the world.
  • Barge LNG is proving to be a good solution for small to mid-scale LNG solution. Black & Veatch has now developed many configurations through several feasibility and Pre-FEED studies and completed FEED in liquefaction capacities ranging from 0.5 MMTPA to 2.0+ MMTPA, using gas turbine and motor drivers with aerial or water cooling for refrigeration interstage cooling. Exmar-Pacific Rubiales FLRSU barge is already in advanced stages of construction, slated for 1Q2015 commercial operation at Colombia becoming world’s first floating LNG project. This offers a wide range of choices for customers for an expedited project development. 
  • Barge LNG can efficiently be used for continuous gas supply through LNG distribution. Black & Veatch has achieved significant progress in the development and implementation of Barge LNG solution. This work by Black & Veatch can form an excellent   basis to develop an expedited and economical solution for gas supply from one island to other islands for Indonesian archipelago.

Eddy starts the presentation

 

Konferensi Insinyur se-ASEAN kali ini dihadiri oleh lebih dari 500 peserta terdiri dari delegasi 9 negara ASEAN, dosen dan peneliti dari perguruan tinggi, professional, dan tak ketinggalan tamu undangan dari Jepang, Taiwan, dan Australia dari berbagai lembaga unsur pemerintah maupun swasta. Pembukaan CAFEO-31 oleh Bapak Menteri Pekerjaan Umum, Ir. Djoko Kirmanto pada Tanggal 11 Nopember 2013 dan acara perpisahan dihadiri oleh Bapak Menteri ESDM, Ir. Jero Wacik.

 

 

 

Selain technical paper sessions yang dibagi ke dalam beberapa ruangan CAFEO ada meeting khusus untuk ASEAN Energy Business Networking, Woman Engineers Session, Young Engineer of ASEAN session, dan sesi seminar yang salah satu pembicaranya adalah Bapak Dr. Ir. Hermanto Dardak, Wakil Menteri PU juga sekarang menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PII.

5-Habibie receives certificate 

WP_001456

Hari ketiga pelaksanaan CAFEO-31, 13 Nopember 2013 penyelenggara mengadakan technical tour ke Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Gunung Salak. Peserta tour ini dihadiri oleh beberapa delegasi dan peserta dari Myanmar, Vietnam dan Malaysia. Mereka berangkat mulai Pukul 08.00 pagi dan tiba di Gunung Salak tepat tengah hari. Di sana mereka mengunjungi lokasi PLTP dan ditemani oleh beberapa karyawan(i) dari Indonesia Power. Setelah berkeliling selama 5-6 Jam mereka memutuskan kembali ke Jakarta karena keesokan harinya delegasi dan peserta dari negara lain harus kembali ke negara masing-masing. Secara keseluruhan acara berjalan sesuai rencana dan menikmati keramahtamahan tuan rumah.

Sampai ketemu lagi di CAFEO-32 yang akan diselenggarakan di Myanmar akhir tahun 2014. Salam Insinyur ASEAN.

 

Pembicara di Ajang Bergengsi Konferensi LNG Internasional dengan Judul “LNG Barge: Solution for Gas Supply to Indonesian Archipelago”

Menjadi peserta pada suatu konferensi atau seminar adalah suatu hal yang biasa-biasa saja buat saya tapi ketika diberi amanah menjadi pembicara pada suatu event bergengsi seperti International LNG Conference yang diadakan oleh IBC Singapore adalah suatu hal yang luar biasa. Sejujurnya ini bukan pengalaman pertama saya menjadi pembicara (speaker) pada acara konferensi, seminar atau workshop yang bertaraf nasional, regional maupun internasional saya juga hampir setiap tahunnya menjadi technical paper presenter di acara Konferensi Insinyur se-Asia Tenggara, pernah diundang menjadi pembicara pada workshop Badan Kejuruan Kimia Persatuan Insinyur Indonesia (BKK – PII), menjadi Instruktur pada workshop pada Kursus Pembinaan Profesi Persatuan Insinyur Indonesia (KPP-PII) sampai dengan memenuhi undangan dari mahasiswa menjadi penBV3yaji kuliah tamu.

BV3BV3BV3Tanggal 22 Oktober 2013 kemarin saya membawakan kuliah tentang teknologi Floating LNG Production Plant mewakili perusahaan saya. “LNG Barge: Solution for Gas Supply to Indonesian Archipelago” adalah judul presentation slides saya dan dengan melihat trend sekarang, small to medium scale LNG plant akan menjadi primadona bisnis di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Berikut sedikit penggalan abstrak tentang topik Floating LNG Plant ini begitu relevan dan suitable untuk diaplikasikan di Indonesia sebagai Negara yang terkenal dengan julukan archipelagonya.

Indonesia is the archipelago country consists of many islands starting from 7 big islands to smaller islands throughout Indonesia. In order to meet the energy demand especially gas supply from one island that has a lot of gas reserves to other islands that haven’t got any reserves then the LNG is the best option to go instead of building the gas pipeline. LNG will benefit in term of economic viability to meet the gas supply and demand for energy need such as power generations and transportation fuel.

LNG Presentation-1The world-wide market for LNG continues to grow rapidly, many countries that are rich of gas reserves have built many LNG plants starting from base-load type to mid and small scale liquefaction facilities. Traditionally, base load LNG plants have provided the majority of this LNG supply. As the industry has grown, base load plants have grown increasing larger and more difficult to site. Owners are turning to developing mid-scale projects with Floating LNG production systems. A variety of configurations have been put forth and a few are progressing.

One of the floating LNG production unit application is a barge-based LNG production facility requires the application of liquefaction technology that is simple, foot-print efficient and energy efficient. The technology of choice for these applications is the single Mixed Refrigerant (SMR) process. The simplicity, flexibility, and scalability of the SMR process can provide a wide range of liquefactions capacities in a unique single or multiple-trains configuration on the barge. There are several system options from which any configuration can be built around depending up on the location, power availability, permitting constraints for use of water cooling and the LNG offloading/export strategy. The barge could be self sufficient or be integrated with onshore support systems at dockside. The barge and its topsides production facility can be built in Indonesia or China or anywhere in the world competitively and towed to project location.

BV4

 BV5 - Copy

Pada acara konferensi ini hadir juga pembicara dari beberapa instansi dan perusahaan baik dalam maupun luar negeri seperti Pertamina, PLN, SKK Migas, Donggi Senoro, Hoegh LNG Asia, Humpuss Intermoda Transportasi, Dart Energy, Lloyd’s Register, dan Rekayasa Industri. Materi konferensi yang disajikan sangatlah menarik seperti: Balancing LNG exports with domestic needs, global LNG and LNG’s market in Indonesia, LNG as transportation fuel, floating LNG production unit, LNG shipping trends, current challenges and future prospects, small LNG ships market challenge and opportunity dan beberapa materi menarik lainnya.

Konferensi ini diadakan di Hotel Grand Hyatt selama 2 hari dari Tanggal 22-23 Oktober 2013. Pra-konferensi diadakan Tanggal 21 Oktober 2013 di tempat yang sama dan Pasca-konferensi pada Tanggal 24 Oktober 2013. Konferensi dihadiri lebih dari 100 peserta dari perusahaan-perusahaan yang bergelut di dunia minyak dan gas, investor asing dari USA, China dan Jepang. Tak ketinggalan juga beberapa perusahaan minyak dan gas yang mensponsori event ini dan tentunya Black & Veatch adalah salah satu diantaranya.

Event berikutnya yang saya mesti hadiri adalah Konferensi Insinyur se-Asia Tenggara (CAFEO31) yang diadakan di Jakarta Convention Center, Tanggal 10-14 Nopember 2013 di mana saya mewakili Persatuan Insinyur Indonesia untuk membawakan materi tentang coal gasification technology dan its business opportunity in Indonesia.

Sampai ketemu di acara CAFEO31. Keep on Fighting till The End, terus menulis dan terus berkarya demi kemajuan bangsa dan Negara.

The Application of Coal Gasification Technology & Its Business Opportunity for Indonesian Low Rank Coal Utilization; an Abstract*

Ir. Habibie Razak, P.Eng., ASEAN Engineer, MM – Project Manager Black & Veatch International, Vice Chairman Energy & Electricity, The Institution of Engineers, Indonesia (PII)

B&V Uniform

ABSTRACT:

Indonesia is the second largest coal exporter in the world after Australia. Coal is abundant spreading over major islands such as Sumatera, Kalimantan, Sulawesi and Papua. Indonesian coal deposit is more than 21 Billion Ton (2011; Ministry of Energy and Mineral Resources). Total coal resources is 105,187.44 Tons throughout Indonesia (2011; Ministry of Energy and Mineral Resources). It is estimated over 50% of total coal deposits are categorized as low-rank coal.

Most of exported coals are used for steel manufacturing and power plant fuel and these are categorized as high and medium rank coals. The calorific value (CV) is more than 4500 kcal/kg and the water content is less than 30%. As mentioned above, other coal types are low rank coal and most often called as lignite. Since this low rank coal is not economical for exports due to the low CV and high water content, this is now emphasized by Indonesian government to be utilized locally. The fit solution to utilize this low rank coal is with coal gasification technology application.

Gasification is a process where raw fuels are partially oxidized to produce other gaseous combustible products. The primary product of gasification is synthesis gas or syngas, primarily comprising carbon monoxide (CO), hydrogen, methane, carbon dioxide, and nitrogen. Gasification technologies are typically consisting of fixed bed, fluidized bed, entrained flow – slurry feed and entrained flow – dry feed as we know many different technology providers expert in this area such as GE, Shell, Lurgi & Siemens. The syngas quality output is also really depending on the selection of gasification technology.

Black & Veatch is engineering and EPC Contractor has been performing feasibility assessments for gasification, syngas processing and synfuels production. We help select the best technology for specific feed and product requirements. Following technology selection, we provide seamless engineering. We’ve performed studies, assessments and EPC for more than 30 gasification clients. Our experience includes above-ground and underground gasification technologies. In all cases, we listen first. Then we align best-fit technology solutions that match the business need.

In addition, the selection of coal gasification technology is not only considering the coal characteristics, but also the downstream product and application, plant scale and its reliability, the capital investment and also gasification process selection. Black & Veatch has the qualification of know-how in order to meet the client’s strategic business. 

Key words: coal gasification, low rank coal, syngas, fixed bed, fluidized bed, entrained-flow, engineering, EPC, and gasification technology.

 *The 20 pages of technical paper will be presented in front of the Conference of ASEAN Federation of Engineering (CAFEO31) Organization, held in Jakarta, Indonesia, 10 – 14 November 2013.

If you’re interested to contribute a technical paper(s) please submit your abstract to coordinator of technical committee. For further info please visit: www.cafeo-31.com.

Konsep Floating LNG Production Plant, Aplikasi yang Tepat untuk Produksi dan Transportasi LNG AntarPulau di Indonesia

Oleh:                                                                  

Ir. Habibie Razak, P.Eng., ASEAN Eng., MM – Project Manager Black & Veatch International , Kansas City, United States                                                                           

LNG Plant yang dibangun di daratan (on-shore LNG plant)  membutuhkan waktu pembangunan yang jauh lebih lama bisa memakan waktu sampai 5 Tahun bukan hanya karena durasi konstruksi dan instalasinya yang lebih lama tapi juga karena banyaknya persoalan-persoalan non-teknis yang muncul pada saat fase inisiasi dan fase perencanaan suatu proyek LNG Plant.  Khususnya di Indonesia, untuk membangun suatu industri (pabrik) di suatu tempat saat ini banyak mengalami tantangan dan hambatan klasik seperti pembebasan lahan, negosiasi harga tanah yang cenderung semakin mahal, biaya ijin mendirikan bangunan (IMB) yang mulai juga mahal dan juga proses perijinan (permitting and licensing) kini memakan waktu yang lebih lama dan biaya yang tidak sedikit. Ijin lingkungan, ijin mendirikan bangunan, ijin mendirikan pelabuhan dan ijin-ijin lainnya melibatkan terlalu banyak kepentingan pihak dari pemerintah dan instansi-instansinya dan juga masyarakat sekitarnya.

Selain persoalan non-teknis tadi ada beberapa pertimbangan teknis dan juga tentunya salah satunya adalah pertimbangan biaya investasi proyek yakni on-land LNG Plant dengan tujuan untuk transportasi LNG dari pulau ke pulau mengharuskan client untuk membangun pelabuhan (jetty) sebagai tempat bersandarnya LNG carrier (kapal pembawa LNG) untuk bisa melakukan proses loading dari on-shore LNG tank. Untuk membangun jetty di sea shore pun membutuhkan biaya yang cukup mahal dan terkadang biayanya bisa lebih mahal dari LNG liquefaction plantnya sendiri.

Karena persoalan-persoalan non-teknis dan teknis tadi, muncullah ide untuk membangun LNG plant di atas laut yang liquefaction processnya didudukkan di atas topside facility. LNG Plant seperti ini diberi nama floating LNG (FLNG) production facility. Pada dasarnya ada 2 tipe FLNG yang dikembangkan sekarang, tipe pertama yakni floating LNG yang berbentuk kapal (ship shaped) yang memiliki containment system atau cargo tank di dalam hull kapal. Tipe kedua adalah barge-based LNG yakni LNG production berbentuk barge dan tidak harus memiliki containment system yang besar tapi bisa saja memiliki LNG bullets tank yang diletakkan di bawah deck sebagai tempat penyimpanan LNG untuk volume kecil (small storage).

Fasilitas-fasilitas yang ada pada LNG barge atau FLNG ini sama saja dengan fasilitas on-land LNG plant yakni terdiri dari gas treating dan dehydration, liquefaction unit, boil-off gas, storage tank, utilities, sampai pada control room dan fasilitas akomodasi buat karyawan dan operator. Namun, tidak semua teknologi LNG yang ada di dunia tepat (fit) untuk aplikasi FLNG atau barge-based LNG karena membangun LNG plant di atas kapal atau barge tentunya biaya investasinya lebih mahal apabila ukuran kapal atau bargenya lebih panjang dan lebih lebar karena equipment dan piping untuk liquefaction process terlalu banyak. Di dunia,  hanya ada satu technology provider yang bisa menghasilkan layout yang compact untuk suatu proses liquefaction di atas kapal dan dengan Capital Expenditure (CAPEX) yang lebih murah (feasible) yakni PRICO-SMR LNG technology hak milik dari perusahaan US bernama Black & Veatch.

Mengapa teknologi PRICO sangat tepat untuk aplikasi floating LNG? Pertama karena PRICO dikenal dengan single mixed refrigerant processnya (SMR), low count of equipment dan tentunya low cost dibanding dengan teknologi lainnya. PRICO hanya menggunakan satu compressor untuk proses refrigeration dan 1 unit compact cold-box terbuat dari brazed aluminum heat exchanger. Kedua, karena semua komponen PRICO SMR telah disertifikasi oleh marine certification agency ternama dan layak dioperasikan pada kondisi motion baik dari sisi operability dan mechanical design strength aspects. Ada beberapa evaluasi marinisasi yang dilakukan oleh Black & Veatch antara lain: process operability pada lingkungan di atas laut, rancangan mekanikal dengan mempertimbangkan motion/acceleration, offshore safety, HAZID/HASOP, blast/explotion, gas dispersion, heat radiation, isolation/relief/blowdown, spill containment, drop object, fire and gas detection, fire fighting and protection, offshore maintenance dan materials of construction. Black & Veatch telah melakukan semua studi di atas tentang kelayakan PRICO untuk dioperasikan di atas laut.

Floating Liquefaction Regasification & Storage Unit

 Aplikasi FLNG atau barge-based LNG production, teknologi Black&Veatch ini sangat tepat untuk mempermudah proses transportasi LNG dari pulau penghasil gas ke pulau yang membutuhkan gas untuk kebutuhan pembangkit listrik dan juga LNG sebagai bahan bakar BBM. Dengan membangun LNG Plant di atas kapal/barge kita bisa memperpendek durasi proyek dan juga tentunya dengan biaya investasi (CAPEX) yang lebih sedikit. PRICO technology juga memberikan simplicity karena layout yang lebih kecil, equipment yang lebih sedikit dan mudah dioperasikan. Selain itu, PRICO technology ini sangat fleksibel di dalam menghandle feed-gas composition dan flow yang sering terfluktuasi sehingga memastikan plant tetap berjalan tanpa ada interupsi yang signifikan.

Lebih khusus lagi, untuk kapasitas produksi small to medium scale LNG plant dan juga lokasinya fasilitasnya tidak terlalu terekspos dari ocean movement, konsep barge-based LNG production adalah pilihan yang terbaik dari sisi kelayakan teknis maupun finansial. Black & Veatch sementara mengerjakan 2 barge-based LNG yaitu 0.5 MMTPA EXMAR FLSRU, Colombia & 0.75 MMTPA Douglas Channel, Canada. Pertanyaan, berapa biaya pembangunan barge-based LNG katakanlah untuk kapasitas produksi 0.5 MMTPA? harganya berada pada kisaran USD 200 Juta Dollar sangat tergantung pada pemilihan driver compressornya (motor atau turbine) dan juga cooling system (air or water cooling) di mana motor driven (8% cost reduction) dan air cooling (5% cost reduction) akan lebih murah sampe 13 persen.

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah aplikasi Floating LNG atau barge-based LNG production ini layak dikembangkan di Indonesia? Jawabannya iya sangat memungkinkan untuk dilakukan, pertama: karena biaya lahan yang semakin mahal (harga tanah, dan proses pembebasan lahan dan perijinan yang semakin kompleks), kedua, lokasi sumur gas dan upstream gas treating plant kebanyakan berada di daerah lepas pantai (sea-shore) sehingga memungkinkan sumber gas tadi bisa diliquefy menjadi LNG di atas barge-based LNG plant tadi. Ketiga, dengan membangun barge-based LNG production kita bisa mengurangi biaya pembangunan jetty untuk proses loading LNG dari onshore liquefaction facility ke LNG carrier, dengan barge-based LNG proses transfer/loading LNG bahkan bisa dilakukan lebih cepat ke LNG carriers (LNGCs) melalui atau tanpa melalui Floating Storaging Unit (FSU).

 @KC office

Strategi Pengembangan Coal Gasification untuk Low Rank Coal di Indonesia

Oleh:

Sapri Pamulu, Ph.D., Direktur Strategi PT Wiratman & Associates, Staff Pengajar Universitas Indonesia, Staff Ahli Departemen Pekerjaan Umum Bidang Manajemen Konstruksi

Habibie Razak, P. Eng., ASEAN Eng., Project Manager Black & Veatch International, Wakil Ketua Bidang Energi dan Kelistrikan Persatuan Insinyur Indonesia

Indonesia adalah negara pengekspor kedua batubara di dunia setelah Australia. Batubara kita bertebaran dimana-mana di beberapa pulau besar seperti di Pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua. Deposit batubara Indonesia lebih dari 21 Milyar Ton (2011; Kementerian ESDM) dan total sumber daya batubara lebih dari 105 Milyar Ton (2011; Kementerian ESDM).

Batubara yang diekspor digunakan untuk produksi baja dan bahan bakar pembangkit listrik dimana batubara seperti ini dikategorikan sebagai batubara kalori tinggi dan menengah dimana calorific valuenya (CV) lebih dari 4500 Kcal/Kg dan water contentnya kurang dari 30 persen. Tipe atau jenis batubara yang lain adalah batubara kalori rendah atau biasa disebut sebagai lignite. Karena batubara kualitas rendah ini tidak ekonomis untuk diekspor, Pemerintah Indonesia menggiatkan batubara ini tetap diutilisasi di dalam negeri. Solusi yang tepat untuk batubara kalori rendah ini adalah dengan proses gasifikasi dengan menggunakan teknologi gasifikasi batubara.

Defenisi gasifikasi yang dibahas di sini adalah bahan bakar mentah dalam hal ini batubara dioksidasi secara parsial untuk menghasilkan produk yang diberi nama combustible gas. Produk utama dari hasil gasifikasi adalah synthesis gas atau syngas, terdiri dari carbon monoxide (CO), hydrogen (H2), methane (C1), carbon dioxide (CO2) dan nitrogen (N2). Teknologi gasifikasi di dunia pada dasarnya dibagi dalam 3 jenis yaitu fixed bed, fluidized bed dan entrained-flow (slurry dan dry feed). Dari 3 jenis teknologi gasifikasi ada beberapa technology provider yang sudah dari Tahun 1980-an atau sebelumnya digunakan untuk aplikasi coal gasification antara lain Shell, GE, Lurgi, Mitsubishi Japan dan Siemens. Output/kualitas dari syngas ini juga sangat ditentukan oleh seleksi teknologi dari beberapa technology provider yang disebutkan tadi.

Seleksi teknologi gasifikasi ini harus memperhatikan beberapa hal antara lain: 1) karakteristik batubara yang akan digasifikasi seperti CV, water content, ash content dan sifat-sifat lainnya 2) produk hilir yang akan dihasilkan dan aplikasinya. Syngas dapat diproses lagi untuk membuat gas metana (SNG) yang kemudian bisa untuk aplikasi LNG, methanol untuk kemudian bisa dibuat olefin (polyethylene product), ammonia untuk kemudian bisa dibuat pupuk, atau syngas ini bisa juga sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik (IGCC), gasoline dan beberapa produk turunan lainnya. 3) Skala pabrik dan tingkat reliabilitas yang diharapkan. Besar kecilnya pabrik yang diinginkan dan juga intensitas operasional pabrik juga sangat dipertimbangkan di dalam memilih teknologi gasifikasi yang ada 4) Investasi kapital (capital investment), sampai di mana tingkat kesiapan client/investor dan jumlah dana yang tersedia untuk membangun coal gasification plant ini. Coal gasification adalah medium to high business investment scale 5) Harga batubara juga menentukan di dalam penentuan jenis teknologi gasifikasi, dimana range harga teknologi ini bisa dimulai dari produk China yang relatif murah sampai pada produk-produk Amerika dan Eropa.

Apakah coal gasification ini layak dikembangkan di Indonesia? Berbicara tentang layak atau tidaknya ada 3 hal yang menjadi pertimbangan yaitu: pertama bisa tidak dilakukan dengan pendekatan engineering. Kedua, bagaimana dengan efek sosial dan lingkungannya, apakah tidak merusak? Ketiga, bagaimana dengan commercial aspectnya? Seperti harga syngas atau SNG dibandingkan dengan harga gas alam, berapa capital investmentnya, ROInya dan seterusnya?

Jawabannya adalah iya untuk 3 pertanyaan di atas. Teknologi gasifier di dunia sudah proven dan sudah banyak coal gasification plant yang beroperasi di dunia bahkan di China, Mongolia, Belanda, US dan beberapa negara lainnya. Biaya produksi syngas maupun SNG sudah bisa dibilang hampir sama dengan natural gas (gas alam) yaitu di kisaran USD 4 – 6 per MMBTU. Bahkan harga jual syngas maupun SNG bisa di kisaran USD 6 – 8 per MMBTU sama dengan harga gas alam dari gas upstream operator.

Strategi yang semestinya dilakukan oleh para pengusaha batubara termasuk pemilik tambang adalah membangun coal gasification plant di mulut tambang untuk menghasilkan syngas/SNG yang dijual di pasar domestik. Dengan asumsi harga batubara kalori rendah (lignite) USD 40 per Metric Ton atau kurang, memungkinkan buat kita membangun coal gasification plants di beberapa daerah yang memiliki cadangan batubara yang cukup besar seperti di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

Pemerintah sebagai regulator sudah semestinya memulai menggalakan proses gasifikasi, mengubah low rank coal ini menjadi sesuatu yang bermanfaat, yang bernilai tambah (value added) yaitu gas untuk kebutuhan bahan bakar kendaraan, pupuk, olefin, pembangkit listrik dan berbagai macam produk lainnya. Dengan demikian cita-cita kita sebagai bangsa yang mandiri dari sisi energi bisa terwujud.